A. PENDAHULUAN
Alquran
bukan kitab sastra dan bukan pula hasil karya atau renungan para sastrawan,
melainkan sebuah kitab suci yang bertujuan membimbing umat ke jalan yang benar
agar mereka hidup dengan selamat dari dunia sampai akhirat. Namun para ahli sejak
dulu sampai sekarang, baik dari golongan muslim, maupun non muslim, mengakui
bahwa Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad lebih seribu empat ratus
tahun yang lalu itu, berisi ayat-ayat yang diungkapkan dalam bahasa arab yang
sangat tinggi dengan gaya sastra yang menakjubkan sehingga tak seorang pun
dapat menandinginya sampai sekarang, sebagaimana yang telah diuraikan.
Berdasarkan
kenyataan yang demikian, maka untuk memahami Alquran dengan baik diperlukan
penguasaan ilmu balaghah atau dalam bahasa indonesia disebut ilmu susastra atau
kesusastraan.
Dari
berbagai literatur dapat disimpulkan bahwa ilmu balaghan membahas kaidah-kaidah
yang berhubungan dengan kalam arab, khususnya berkenaan dengan pembentukan
kalimat dan gaya bahasa dalam erkomunikasi.[1]
Dalam
ilmu balaghah tersebut ada istilah-istilah seperti majazi, tasybih, istiarah,
dan kinayah. Maka dalam makalah ini akan sedikit membahas tentang pengertian
majazi, tasybih, istiarah, dan kinayah beserta contohnya berupa ayat-ayat dalam
Alquran yang berkenaan dengan istilah tersebut.
B. PEMBAHASAN
1. Majazi
Bentuk majaz dalam al-Quran, dari bentuk denotatif
(haqiqah) ke bentuk metafora (majaz). Menurut Abd al-Qahir al-Jurjani (471 H)
majaz adalah kebalikan haqiqah. Sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau
makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain disebut dengan haqiqah.
Sedangkan majaz adalah sebaliknya, yaitu perpindahan makna dasar ke makna
lainnya, atau pelebaran medan makna dari makna dasar karena ada alasan
tertentu. Secara teoritik, majaz adalah peralihan makna dari yang leksikal
menuju yang literer, atau dari yang denotatif menuju yang konotatif karena ada
alasan-alasan tertentu.[2]
a. Definisi Majaz
Majaz secara etimologis berasal dari kata bahasa Arab المجاز, bentuk masdar (infinitif) dari kata جاز.[3]
Sedangkan secara terminologis para ulama telah banyak mendefinisikannya dengan
beberapa ibarah atau perkataan, diantaranya :[4]
1)
Ibn Qutaibah mendefinisikannya
sebagai bentuk gaya tutur, atau seni bertutur.
2)
Sibawayh mendefinisakannya dengan
seni bertutur yang memungkinkan terjadinya perluasan makna.
3)
Al-Mubarrad mengatakan bahwa majaz
merupakan seni bertutur dan berfungsi untuk mengalihkan makna dasar yang
sebenarnya.
4)
Al-Qaadhy ‘Abd al-Jabbaar
mengatakan bahwa majaz adalah peralihan makna dari makna dasar atau
leksikal ke makna lainnya, yang lebih luas.
5)
Ibn Jinny dan Al-Jurjaany
menempatkan majaz sebagai lawan dari haqiqat, dan makna haqiqat
menurut Ibnu Jinny adalah makna dari setiap kata yang asli, sedangkan majaz
adalah sebaliknya, yaitu setiap kata yang maknanya beralih kepada makna
lainnya. Sedangkan menurut Al-Jurjaany haqiqah adalah sebuah kata yang
mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna
lain disebut, sedangkan majaz adalah peralihkan makna dasar ke makna
lainnya, karena alasan tertentu, atau pelebaran medan makna dari makna
dasarnya.
b.
Macam-Macam Majaz
1) Majaz Fi Al-Mufrad
Majaz fi al-murad adalah majaz yang menggunakan
lafadz bukan pada permulaan asal peletakannya. Macam ini disebut juga majaz
al-lughawi, dan ia terbagi ke dalam beberapa macam :[5]
a)
Al-hadzfu atau an-naqsu,
yaitu majaz yang menitikberatkan pada adanya lafadz yang tersembunyi.
Contohnya dalam surat Yusuf: 82
وَاسْأَلِ
الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا
Artinya:
"Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu".
Di
dalam ayat ini tersimpan lafadz yang tersembunyi sebelum lafadz القرية
(negri), yaitu lafadz أهل (penduduk).
b)
Az-Ziyaadah,yaitu majaz yang
menitikberatkan pada adanya lafadz atau hurup tambahan.
Contohnya
dalam surat Asy-Syuuraa: 11
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Artinya:
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia"
Sebagian
ulama mengatakan bahwa hurup ك di depan lafadz مثله secara makna
muradnya merupakan tambahan.
c)
Menyampaikan ungkapan dalam
bentuk lafadz plural (jama') namun yang
dimaksudkan adalah sebagian saja.
Contohnya
dalam surat Al-Baqarah ayat 19:
يَجْعَلُونَ
أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ
Artinya:
"Mereka menyumbat telinganya dengan (anak) jarinya".
Kata
أصابع di atas secara leksikal atau makna yang
sebenarnya adalah jari-jari. Kiranya mustahil bagi orang-orang munafik Mekkah
menyumbat telinganya dengan semua jari karena takut bunyi guntur yang
mematikan. Tetapi yang dimaksud أصابع
dalam ayat tersebut adalah sebagian dari jari-jari, bukan semuanya.
d)
Menyampaikan ungkapan dalam
bentuk lafadz yang merupakan bagian dari suatu nama benda, namun yang
dimaksudkan adalah keseluruhannya; bukan sebagiannya.
Contohnya
dalam surat Ar-Rahman: 27
وَيَبْقَى
وَجْهُ رَبِّكَ
Artinya:
"Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu".
Lafadz
وجه (Wajah) di dalam
ayat ini merupakan bagian dari ذات
(Dzat) Tuhan, namun di dalam ayat tersebut tidak di ambil makna وجه tetapi dimaknai ذات
(Dzat).
e)
Menyampaikan ungkapan dalam
bentuk lafadz khas (khusus), namun yang dimaksudkan adalah 'aam
(makna umumnya).
Contohnya
dalam surat Al-Munafiqun: 4
هُمُ
الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ
Artinya:"Mereka
itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka".
Lafadz
العدو (musuh) di dalam ayat tesebut maksudnya
adalah الأعداء (semua musuh).
f)
Menyampaikan ungkapan dalam
bentuk lafadz 'aam (umum), namun yang dimaksudkan adalah khas
(makna khususnya).
Contohnya
dalam surat Asy-Syuuraa: 5
وَيَسْتَغْفِرُونَ لِمَنْ فِي الْأَرْضِ
Artinya:
"Dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi".
Lafadz
من (orang) di dalam ayat tersebut di
maksudkan khusus bagi المؤمنون (orang-orang yang
beriman.
g)
Menyampaikan ungkapan dalam
bentuk lafadz al-'malzuum (yang diharuskan), namun yang
dimaksudkan adalah al-laazim (yang mengharuskan).
Contohnya
dalam surat Al-An'am: 39
صُمٌّ
وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ
Artinya:
"Pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita".
Kalimat
في الظلمات (dalam kegelapan) di dalam ayat tersebut
-secara majaz- dari segi asalnya adalah lafadz عمي
(buta), karena di dalam ayat lain di sebutkan: صُمٌّ
بُكْمٌ عُمْيٌ, maka penyebutan في الظلمات
di dalam ayat tersebut dikarenakan kalimat tersebut termasuk dari keharusan
orang yang buta, artinya mata orang yang buta pasti merasakan gelap gulita.
h)
Menyampaikan ungkapan dalam
bentuk lafadz al-laazim (yang mengharuskan), namun yang dimaksudkan
adalah al-'malzuum (yang diharuskan).
Contohnya
dalam surat Al-Maaidah: 112
هَلْ
يَسْتَطِيعُ رَبُّكَ أَنْ يُنَزِّلَ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ
Artinya:
"Sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?"
Lafadz
يستطيع (sanggup/bisa) di
dalam ayat tersebut -secara majaz- dari segi asalnya adalah lafadz يفعل (melakukan), hal ini dikarenakan
kesanggupan mengharuskan untuk melakukan.
i)
Menyampaikan ungkapan dalam
bentuk lafadz al-musabbab (akibat), namun yang dimaksudkan adalah as-sabab
(sebab).
Contohnya
dalam surat Al-Mu'min: 13
وَيُنَزِّلُ
لَكُمْ مِنَ السَّمَاءِ رِزْقاً
Artinya:
"Dan menurunkan untukmu rezki dari langit".
Lafadz
رزقا (rizki) di dalam ayat ini merupakan akibat
dari turunnya مطر (hujan)
j)
Menyampaikan ungkapan dalam
bentuk lafadz as-sabab (sebab), namun yang dimaksudkan adalah al-musabbab
(akibat).
Contohnya dalam surat
Al-Baqarah:
فَمَنِ
اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
Artinya:
"Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan
serangannya terhadapmu".
Lafadz
اعتدوا makna asalnya
adalah "Lakukanlah kezaliman" Makna ini tidak bisa dipakaikan karena
bertentangan dengan ajaran Islam, yang melarang dari berbuat zalim. Jika kita
artikan dengan makna majaz, bisa dipahami bahwa kata اعتدوا merupakan sebab dari makna yang dimaksud, karena
kezaliman merupakan penyebab adanya جزاء
(balasan). Jadi makna dari اعتدو adalah "Balaslah".
k)
Menamakan sesuatu dengan nama
yang biasa disebutkan setelah ia mengalami proses tertentu.
Contohnya
dalam surat Yusuf: 36
إِنِّي
أَرَانِي أَعْصِرُ خَمْراً
Artinya:
"Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku memeras anggur".
Lafadz
خمر (arak) yang di sebutkan di dalam ayat ini
adalah nama minuman yang di buat dari perasan عنب
(anggur).
l)
Menyampaikan ungkapan dalam
bentuk lafadz al-hal (keadaan), namun maksudnya adalah al-mahal
(tempat) yang keadaannya seperti yang di ungkapkan tersebut).
Contohnya
dalam surat Ali Imron: 107
فَفِي
رَحْمَةِ اللَّهِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya:
"Maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di
dalamnya".
Lafadz
رحمة الله (rahmat Allah) di dalam ayat ini,
maksudnya adalah الجنة (surga), hal ini
karena keadaan surga penuh dengan rahmat Allah.
m)
Menyampaikan ungkapan dalam
bentuk lafadz al-mahal (tempat), namun maksudnya adalah al-hal (keadaannya).
Contohnya
dalam surat Al-'Alaq: 17
فَلْيَدْعُ
نَادِيَهُ
Artinya:
"Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya)".
Lafadz
نادية adalah nama suatu tempat, dan yang di
maksudkan di dalam ayat ini adalah penduduk yang mendiami tempat tersebut.
Menamakan
sesuatu dengan nama alatnya.
Contohnya
dalam surat Ibrahim: 4
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ
Artinya:
"Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa
kaumnya".
Lafadz
لسان (lisan) di dalam ayat ini merupakan alat
untuk melafalkan bahasa, oleh karena itu lafadz tersebut di maknai secara
majaz, yaitu bahasa.
n)
Menamakan sesuatu dengan nama
kebalikannya atau mengungkapkan suatu lafadz yang biasa di gunakan untuk
sesuatu kebalikannya.
Contohnya
dalam surat Al-Insyiqaaq: 24
فَبَشِّرْهُمْ
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya:
"Maka beri kabar gembiralah mereka dengan azab yang pedih".
Lafadz
بشّر di dalam ayat ini biasanya di gunakan
untuk الخبر السار (kabar/berita yang
menyenangkan/menggembirakan), namun di dalam ayat tersebut di gunakan untuk
kabar berita yang tidak menyenangkan sekali, yaitu عذاب
أليم (azab yang pedih).
o)
Mengidhafahkan atau menghubungkan
fi'il (kata kerja) kepada sesuatu yang tidak biasanya di hubungkan
dengannya.
Contohnya
dalam surat Al-Kahfi: 77
فَوَجَدَا
فِيهَا جِدَاراً يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ
Artinya:
"Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang
hampir roboh, maka (Khidhr) menegakkan dinding itu".
Fi'il
يريد (ingin) di dalam ayat ini biasanya di
hubungkan dengan الحي (makhluk hidup),
sedangkan di dalam ayat ini di hubungkan dengan lafadz جدار (dinding).
p)
Menyampaikan ungkapan tentang
sesuatu dengan fi'il (kata kerja), namun maksudnya adalah dari segi
kedekatan makna fi'il tersebut terhadapnya atau dari segi kemulyaannya
atau keinginannya.
Contohnya
dalam surat An-Nahl: 61 dan Al-Maaidah: 6
َإِذَا
جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Artinya:
"Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka,
tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula)
mendahulukannya".
إِذَا
قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا
Artinya:
"Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah.."
Fi"il جاء (telah tiba) yang di kaitkan dengan lafadz أجل (saat kematian) di dalam ayat pertama maksudnya قرب مجيئه (mendekati tibanya saat kematian). Dan fi'il
قمتم (kalian mengerjakan) yang di hubungkan
dengan lafadz الصلاة (shalat) di dalam
ayat kedua maksudnya أردتم القيام (kalian ingin
mengerjakan).
q)
Menempatkan dua lafadz secara
terbalik.
Contohnya
dalam surat Ar-Ru'd: 38
لِكُلِّ
أَجَلٍ كِتَابٌ
Artinya:
"Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)".
Lafadz
كتاب (kitab) seyogyanya di dahulukan dan lafadz
أجل (masa akhir) di akhirkan, yakni لكل كتاب أجل (bagi tiap-tiap kitab ada masa akhirnya).
r)
Menempatkan suatu shighah
(bentuk suatu lafadz) pada kedudukan shighah lain.
Contohnya
dalam surat Al-Baqarah: 255
وَلا
يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ
Artinya:
"Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah".
Lafadz
علم (ilmu) di dalam ayat ini bershighah
مصدر (kata dasar), sedangkan yang seyogyanya
adalah shighah المفعول (kata
kerja transitif) dari lafadz tersebut, yakni: معلوم
(yang di ketahui), sehingga seyogyanya ayat tersebut bermakna: "Dan
mereka tidak mengetahui apa-apa yang diketahui oleh Allah".
s) Menamakan sesuatu dengan nama yang biasa disebutkan
sebelumnya.
Contohnya
dalam surat Thaahaa: 74
مَنْ
يَأْتِ رَبَّهُ مُجْرِماً فَإِنَّ لَهُ جَهَنَّمَ
Artinya:
"Barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka
sesungguhnya baginya neraka Jahannam".
Di
dalam ayat ini orang yang datang kepada Tuhannya pada hari kiamat di namai مجرم (penjahat), hal itu di sesuaikan dengan
keadaan dia sewaktu melakukan kejahata/dosa di dunia ini.
2).
Majaz Fi At-Tarkiib
Majaz fi at-tarkiib adalah majaz yang menyandarkan suatu
perbuatan atau kesangsian kepada sesuatu yang tidak memiliki originalitas,
dikarenakan adanya hubungan keterkaitan antara keduanya. Majaz ini di sebut
juga majaz al-aql dan majaz al-isnaad.[6]
Contohnya
dalam surat Al-Anfaal: 2
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ
إِيمَاناً
Artinya:
"Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka
(karenanya)".
Di dalam ayat ini terdapat suatu perbuatan Allah,
yaitu الزيادة (penambahan), yang di
sandarkan kepada الآيات (ayat-ayat), hal ini
karena dengan dibacakannya ayat-ayat tersebut menjadi sebab bertambahnya
keimanan mereka.
Majaz ini
terbagi ke dalam empat macam, yaitu sbb:
a)
Penyandaran yang kedua sisnya
adalah haqiqat (makna asli).
Contohnya
dalam surat Az-Zalzalah: 2
وَأَخْرَجَتِ
الأَرْضُ أَثْقَالَهَا
Artinya:
"Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)
nya".
Penggunaan
lafadz أخرج (telah mengeluarkan) dan الأرض (bumi) di dalam ayat ini adalah secara haqiqat.
b)
Penyandaran yang kedua sisnya
adalah majaz.
Contohnya
dalam surat Al-Baqarah: 16
فَمَا
رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ
Artinya:
"Maka tidaklah beruntung perniagaan mereka".
Penggunaan
lafadz ربح (beruntung) dan تجارة
(perniagaan) di dalam ayat ini adalah secara majaz.
c)
Penyandaran yang sisi pertamanya haqiqat
dan sisi lainya majaz.
Contohnya
dalam surat Ar-Ruum: 35
أَمْ
أَنْزَلْنَا عَلَيْهِمْ سُلْطَاناً
Artinya:
"Atau pernahkah Kami menurunkan kepada mereka keterangan".
Penggunaan
lafadz أنزل (telah menurunkan) di dalam ayat ini
adalah secara haqiqat, sedangkan penggunaan lafadz سلطان (kekuasaan) adalah secara majaz sehingga ia di maknai برهان (dalil/keterangan).
d)
Penyandaran yang sisi pertamany
majaz dan sisi lainya haqiqat.
Contohnya
dalam surat Al-Ma'aarij: 15-17
كَلَّا
إِنَّهَا لَظَى. نَزَّاعَةً لِلشَّوَى. تَدْعُو مَنْ أَدْبَرَ
وَتَوَلَّى
Artinya:
"Sekali-kali tidak dapat, sesungguhnya neraka itu adalah api yang
bergolak, yang mengelupas kulit kepala, yang memanggil orang yang membelakang
dan yang berpaling (dari agama)".
Penggunaan
lafadz تدعو (memanggil) di dalam ayat ini adalah
secara majaz karena di sandarkan kepada lafadz النار
(api neraka).
d. Faedah-faedah Majaz
Diantara faedah-faedah penggunaan majaz adalah sebagai
berikut :[7]
1)
Al-iijaz yakni memperingkas
suatu kalimat atau ungkapan.
2)
Memperluas lafadz, dimana
seandainya suatu lafadz tidak dimajazkan maka setiap makna hanya memiliki satu
komposisi.
3)
Menampilkan suatu makna dalam
suatu gambaran yang dalam dan dekat kepada akal fikiran.
2.
Tasybih
a)
Pengertian Tasybih
Tasybih adalah menyerupakan
sesuatu dengan sesuatu yang lain karena memiliki kesamaan sifat di antara kedua
hal tersebut, dengan menggunakan adat (alat) tasybih, baik disebutkan
maupun tidak.[8]
b)
Rukun-rukun Tasybih
Adapun rukun-rukun Tasybih adalah
sebagai berikut :
1)
Musyabbah (sesuatu yang hendak
diserupakan)
2)
Musyabbah bih (sesuatu yang
diserupai)
3)
Wajhus syibhi (sifat yang
terdapat pada kedua hal itu)
4)
Adaatut tasybih (huruf/kata yang
menyatakan penyerupaan)
5)
Musyabbah dan musyabbah bih
disebut juga tharafait tasybih.
c)
Pembagian Tasybih
1).
Tasybih
mursal
Tasybih mursal adalah tasybih yang adat tasybihnya
disebutkan.
2).
Tasybih
muakkad
Tasybih muakkad adalah tasbih yang adat tasybihnya
tidak disebutkan
3).
Tasybih
mujmal
Tasybih mujmal adalah tasybih yang tidak disebutkan
wajh syibhnya
4).
Tasybih
mufashal
Tasybih mufashal adalah tasybih yang disebutkan wajah
syibhnya
5.
Tasybih
baligh
Tasybih baligh tasybih yang tidak disebutkan wajah
syibh dan adat tasybihnya.
d. Maksud dan Tujuan Tasybih
1).
Menjelaskan
kemungkinan terjadinya sesuatu pada musyabbah
2).
Menjelaskan
keadaan musyabbah
3).
Menjelaskan kadar keadaan musyabbah
4).
Menegaskan keadaan musyabbah
5). Memperindah atau memperburuk
musyabbah
3. Isti’aroh
Isti’aroh adalah
tasybih yang dibuang salah satu tharaifnya (musyabbah/musyabbah bih).
Sehingga, hubungan antara makna hakiki dan makna majazi selalu musyabahah
(saling menyerupai).[9]
Adapun macam-macam isti’aroh
sebagai berikut:
a)
Isti’aroh Tashrihiyyah, yaitu
isti’aroh yang dibuang musyabbahnya.
b)
Isti’aroh Makniyyah, yaitu
isti’aroh yang dibuang musyabbah bihnya
c)
Isti’aroh Ashliyyah, yaitu
isti’aroh yang menggunakan isim jamid.
d)
Isti’aroh Tabaiyyah, adalah
isti’aroh yang menggunakan lafadz isim fi’il.
e)
Isti’aroh Murasyahah, adalah
isti’aroh yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih.
f)
Isti’aroh Mujarrodah, adalah
Isti’aroh yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah.
g)
Isti’aroh Muthlaqoh, adalah
isti’aroh yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan
musyabbah bih atau musyabbah.
h)
Isti’aroh Tamtsiliyyah, adalah
suatu susunan kalimat yang digunakan bukan pada makna aslinya karena ada
hubungan keserupaan antara makna asli dan makna majazi, dengan disertai karinah
yang mencegah peletakkan pada makna asli.
4.
Kinayah
a.
Definisi Kinayah
Kinayah secara etimologis berasal dari kata bahasa
arab الكناية, bentuk masdar (infinitif) dari kata كَنَى
Sedangkan secara terminologis kinayah adalah suatu
lafadz yang diungkapkan dengan menitikberatkan kepada makna seharusnya beserta
membolehkan penyebutan makna aslinya.[10]
b. Sebab-sebab Kinayah
Kinayah memiliki beberapa sebab, diantaranya :[11]
1)
Peringatan akan keagungan kekuasaan
Allah swt, seperti firman-Nya mengenai kinayah tentang Nabi Adam dalam surat
Al-A'raf: 189:
هُوَ
الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ واحِدَةٍ
Artinya:
"Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu".
2)
Kecerdasan yang berbicara,
seperti firman Allah swt mengenai kinayah tentang Zaid dalam surat Al-Ahzaab:
40:
ما
كانَ مُحَمَّدٌ أَبا أَحَدٍ مِنْ رِجالِكُمْ
Artinya:
"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di
antara kamu".
3)
Meninggalkan suatu lafadz kepada
lafadz yang lebih indah darinya atau menggantikannya dengan lafadz indah
tersebut, seperti kinayah lafadz النعجة (kambing
betina) mengenai المرأة (wanita) dalam firman
Allah swt surat Shaad: 23:
إِنَّ
هذا أَخِي لَهُ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ نَعْجَةً وَلِيَ نَعْجَةٌ واحِدَةٌ
Artinya:
"Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor
kambing betina dan aku mempunyai seekor saja"
Menyebutkan
suatu lafadz yang vulgar atau kasar di dengar, maka dikinayahkan dengan lafadz
yang tidak vulgar atau tidak kasar di dengar, seperti kinayah tentang الجماع (bersenggama) dengan lafadz الملامسة (bersentuhan) sebagaimana dalam firman
Allah swt surat An-Nisa: 43:
أَوْ
لامَسْتُمُ النِّسَاءَ
Artinya:
"Atau kamu telah menyentuh perempuan".
4)
Membaguskan suatu lafadz, seperti
kebiasaan orang arab mengkinayahkan حرائر النساء (pakaian
sutra perempuan) dengan البيض (telur), hal ini juga
sebagaimana firman Allah swt dalam surat Ash-Shaaffaat: 49:
بَيْضٌ مَكْنُونٌ
Artinya:
"Telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik".
5)
Bermaksud untuk menceritakan
kepandaian atau kemahiran, seperti kinayah tentang النساء
(wanita) bahwa mereka dibesarkan dalam keadaan الترفه (kemewahan) dan التزيين (berhias),
sebagaimana firman Allah swt dalam surat Az-Zukhruf: 18:
أَوَ
مَنْ يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصامِ غَيْرُ مُبِينٍ
Artinya:
"Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam
keadaan berperhiasan".
6)
Bermaksud untuk melebih-lebihkan
dalam mencaci maki, seperti lafadz الغُلُّ (terbelenggu)
kinayah untuk البخل (kekikiran),
sebagaimana firman Allah swt dalam surat Al-Israa: 29:
وَلا
تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ
Artinya:
"Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu".
7)
Peringatan terhadap ujung
nasibnya, seperti ujung nasibnya Abu Lahab adalah اللهب
(api yang berkobar) yakni jahannam, karena itulah Allah swt
menyebut namanya denga أبو لهب (bapa api yang
menyala) dalam surat Al-Masad: 1:
تَبَّتْ
يَدا أَبِي لَهَبٍ
Artinya:
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan
binasa".
8)
Bermaksud meringkas, diantaranya
kinayah mengenai perbuatan-perbuatan yang beragam dengan lafadz (فعل), seperti firman Allah swt dalam surat
Al-Baqarah: 24:
فَإِنْ
لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا
Artinya:
"Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan
dapat membuat(nya)".
Yakni:
maka jika kamu tidak dapat mendatangkan satu surat yang seperti itu, dan pasti
kamu tidak dapat mendatangkannya.
9)
Menitikberatkan kepada jumlah
kalimat yang maknnya berbeda dengan makna dzahirnya, kemudian diambil
kesimpulannya dengan tanpa mempertimbangkan kosakatanya dari segi haqiqat atau
majaznya, sehingga diungkapkannya sesuai dengan maksudnya, seperti lafadz الاستواء (Arsy) kinayah mengenai الملك (kekuasaan) sebagaimana firman Allah dalam surat Thaahaa: 5:
الرَّحْمنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى
Artinya:
"Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy".
c. Macam-macam Kinayah
Ulama ahli bayan membagi kinayah ke dalam tiga macam,
yaitu sebagai berikut :[12]
1) Kinayah sifat
Kinayah sifat dapat diketahui dari adanya penyebutan mausuf
(yang disifati) dalam konteks kalimat, baik itu dari lafadznya atau ucapannya
maupun dari dzahirnya.
Misalnya seperti penyebutan lafadz الصديق yakni Abu bakar , الفاروق yakni
Umar dan سيف الله yakni Khalid bin Walid.
Contoh dari al-Qur'an misalnya firman Allah swt yang
menyebutkan sifat-sifat Rasulullah saw dalam surat Al-Ahzab: 45-46:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا
وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا. وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا
مُّنِيرًا
Artinya:
"Wahaai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan
pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada
Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi".
2) Kinayah mausuf
(yang di sifati)
Kinayah mausuf dapat di ketahui dari adanya
penyebutan sifat dalam konteks kalimat, baik itu dari segi penyebutannya secara
langsung maupun dari segi pembawaannya.
Misalnya seperti penyebutan "yang mengucapkan ض" yakni orang Arab, دار السلام yakni kota Baghdad dan طيبة yakni
Madinah Al-munawwarah.
Contoh dari al-Qur'an misalnya firman Allah swt
mengenai kinayah tentang bahtera dalam surat Al-Qamar: 13:
وَحَمَلْنَاهُ عَلَى ذَاتِ أَلْوَاحٍ وَدُسُرٍ
Artinya:
"Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan
paku".
3) Kinayah nisbah
Kinayah nisbah yaitu menisbatkan sesuatu kepada
sesuatu yang lain, baik dengan penetapan bukti maupun penolakan atau sangkalan.
Misalnya dalam pepatah arab yang mengatakan: خير الناس من ينفع الناس (sebaik-baik manusia
adalah orang yang memberi manfaat kepada sesama) terdapat kinayah mengenai
penolakan adanya kebaikan di dalam diri orang yang tidak memberi manfaat kepada
sesamanya.
Contoh dari al-Qur'an misalnya firman Allah swt
mengenai kinayah tentang persediaan Allah swt untuk kelanggengan adanya langit
dan bumi, seperti persediaan adanya daya listrik untuk kelanggengan adanya
cahaya dalam lampu listrik, apabila persediaan daya listrik habis atau diputus
maka tidak akan ada cahaya lampu listrik tersebut, hal ini sebagaimana
disebutkan dalam surat Faathir: 41:
إنّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ والأَرْضِ أَنْ
تَزُولاَ
Artinya:
"Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap".
C. KESIMPULAN
Al-Qur'an merupakan
kalamullah yang diturunkan dengan menggunakan gaya bahasa Arab yang tinggi dan
indah, yang terlihat –diantaranya- dari ungkapan-ungkapan metaforik-simboliknya
(majaz) dan kiasan-kiasannya atau sindiran-sindirannya (kinayah).
Majaz identik dengan
peralihkan makna dasar ke makna lainnya, karena alasan tertentu, atau pelebaran
medan makna dari makna dasarnya, sedangkan kinayah identik dengan penggunaan
sebuah lapadz atau kata untuk menyatakan suatu hal lain dengan menitikberatkan
pada makna seharusnya karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.
Majaz dan kinayah
terbagi ke dalam: majaz fi at-tarkiib dan majaz fi al-mufrad, namun dari
segi pertalian atau penyesuaian antara makna asli dan makna majaznya, majaz
terbagi ke dalam dua macam: majaz bi al-isti'arah dan majaz mursal.
Sedangkan kinayah terbagi ke dalam tiga macam: kinayah sifat, kinayah mausuf
dan kinayah nisbah.
Majaz dan kinayah
tersebut sengaja diketengahkan oleh Allah swt dalam kalam-Nya dengan maksud
agar menjadi perhatian manusia sekaligus melemahkan gaya bahasa arab khususnya
dan bahasa lainnya pada umumnya dihadapan gaya bahasa-Nya (kalamullah),
sehingga mereka tertarik dan terpengaruh olehnya, dan akhirnya mereka mengikuti
apa yang di kandungnya, juga agar memberikan jembatan bagi rasio manusia yang
terbatas dengan masalah-masalah ukhrawi dan hal-hal metafisik.
Dari
paparan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tasybih adalah menyerupakan
sesuatu dengan sesuatu yang lain karena memiliki kesamaan sifat di antara kedua
hal tersebut, dengan menyebutkan unsur-unsurnya, yaitu musyabbah, musyabbah
buh, adat tasybih, dan wajh syibh.
Walaupun
demikian, ada juga jenis tasybih yang tidak menyebutkan salah satu atau bahkan
salah dua dari empat unsur tersebut. Tasybih akan semakin tinggi tingkatannya
jika tidak menyebutkan musyabbah dan musyabbah bihnya. Tasybih ini disebut
tasybih baligh. Dan sebaliknya, akan semakin rendah tingkatannya jika
disebutkan seluruh unsur-unsurnya.
Isti’aroh adalah
tasybih yang dibuang salah satu tharaifnya (musyabbah/musyabbah bih).
Dan hubungan antara makna hakiki dan majazinya adalah musyabahah (saling melengkapi).
Nilai isti’aroh dilihat dari segi lafadz dan rekayasa keindahannya. Dari segi
lafadznya, tasybih dalam susunan kalimatnya terselubung/tersembunyi.
[1]
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta : Pustaka
Belajar , Cet.I, 2005, hlm.344.
[2] http://www.referensimakalah.com/2012/12/bentuk-majaz-dalam-al-quran.html
[3] Al-Majaaz 'Inda Al-Usuliyyin Bain Al-Mujiiziin Wa
Al-Maani'iin, Abdullah As-Sudais, Al-Maktabah Asy-Syaamilah, hal. 7
[4]http://infopesantren.web.id/ppssnh.malang/cgibin/content.cgi/artikel/dialektika_gaya_bahasa_quran.single.
[5] Al-Itqan Fi 'Ulum Al-Qur'an hal. 122-128. Al-Burhan Fi
'Ulum Al-Qur'an, hal. 259-284.
[6] Al-Itqan Fi 'Ulum Al-Qur'an, hal. 120-121. Al-Burhan
Fi 'Ulum Al-Qur'an, hal. 256-258.
[7] Al-Khulaashah Fi 'Ilmu Al-Balaaghah, hal. 42
[8] http://kindhearte.blogspot.com/2013/05/makalah-balaghoh-tasybih-majaz-istiarah.html
[9] http://kindhearte.blogspot.com/2013/05/makalah-balaghoh-tasybih-majaz-istiarah.html
[10] Al-Ashlaan Fi 'Ulum Al-Qur'an, Dr. Muhammad
Abdulmun'im Al-Qoi'ii, Dar Al-Mun'im Al-Qoi'ii, 1996, cet IV, hal. 314.
Bughyatu Al-Iidhah Litalkhishi Al-Miftaah Fi 'Ulumi Al-Balaghah, Abdulmu'taal
Ash-Sha'iidii, Maktabatu Al-Adab, 2005, hal. 369. Al-Balaghah Al-Wadhihah, Ali
Al-Jaarim dan Mushthafa Amin, Al-Maktabah Asy-Syaamilah, hal. 146.
[11] Al-Mausuu'ah al-Qur'aaniyah, Ibrahim Al-Ibyaarii,
Muassasah Sijil Al-Arab, 1405 H, hal. 1097. Al-Burhan Fi 'Ulum Al-Qur'an, jil.
2, hal. 301-309.
[12] Al-Khulaashah Fi 'Ilmu Al-Balaaghah, op. cit, hal. 52-53. Al-Balaaghah
Al-'Arabiyyah: Asaasuha Wa 'Uluumuha Wa Funuunuha, hal. 568. Al-Balaghah
Al-Wadhihah, hal. 146. Bughyatu Al-Iidhah Litalkhishi Al-Miftaah Fi 'Ulumi
Al-Balaghah, , hal. 370.