Sabtu, 27 Desember 2014

KRITIK MATAN

A.  PENDAHULUAN
Tidak perlu diragukan bahwa hadis  merupakan sumber  ajaran Islam  di samping al-Qur’an. Mengingat begitu pentingnya hadis, maka studi atau kajian terhadap hadis akan terus dilakukan, bukan saja oleh  umat Islam, tetapi oleh siapapun yang  berkepentingan terhadapnya. Berbeda dengan ayat-ayat al-Qur’an yang  semuanya dapat diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan sebagai  acuan atau hujah. Hadis ada   yang  dapat dipakai ada yang tidak. Di sinilah letak perlunya  meneliti hadis. Agar dapat meneliti hadis  secara baik diperlukan  antara lain pengetahuan tentang kaidah dan atau metodenya.
Hadis telah terkontaminasi oleh pemalsuan karena berbagai kepentingan seperti politik, fanatik aliran dan lain-lain.[1]Pada sisi lain, fatwa orang penting (baca : para ulama) pasca Rasulullah menjadi rujuakan yang perlu didokumentasi. Maka pekerjaan mendokumentasi Hadis Nabi dituntut memilah mana yang berasal dari Rasulullah dan mana yang bukan. Dokumen atau catatan Hadis karena tidak terlepas dari keragaman daya tangkap para periwayat, maka kualitas Hadisnya pun beragam. Maka munculnya aksi kritik Hadis tidak dimaksudkan menguji ajaran Rasulullah, tetapi menguji daya tangkap dan kejujuran para periwayat. Menolak Hadis bukan berarti menolak Rasulullah, tetapi menolak klaim bahwa riwayat itu dari Rasulullah. Maka kritik Hadis memberi kontribusi pemilahan Hadis yang berasal dari Rasulullah atau bukan.
Jika kritik sanad lazim di kenal dengan istilah krtik ekstern(al-naqd al-khariji),maka kritik matan lazim di kenal kritik intern (al naqd al-dakhili). Istilah ini di kaitkan dengan orientasi kritik matan itu sendiri, yakni di fokuskan kepada teks hadits yang merupakan intisari dari apa yang pernah di sabdakan Rasulullah, yang di transmisikan ke pada generasi-generasi berikutnya hingga ke tangan para mukharrij al- hadith, baik secara lafdzi (lafaz) maupun ma’nawi (makna).
Istilah kritik matan hadits, di pahami sebagai upaya pengujian atas keabsahan matan hadits, yang di lakukan untuk memisahkan antara matan-matan hadits yang sahih dan yang tidak sahih. Dengan demikian, kritik matan tersebut, bukan di maksud untuk mengoreksi kelemahan sabda Rasulullah, akan tetapi di arahkan kepada redaksi dan makna guna menetapkan keabsahan suatu hadits. Karena itu kritik matan merupakan upaya positif dalam rangka menjaga kemurnian matan hadits, di samping juga untuk mengantarkan kepada pemahaman yang lebih tepat terhadap hadits Rasulullah.[2]
Keshahihan suatu Hadis tidak dapat ditentukan hanya oleh keshahihan sanad-nya saja, tetapi matannya pun mesti diteliti, guna memastikan apakah ia tidak syadz atau pun illah. Dengan demikian kritik matan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari studi tekstual dan kontekstual atas Hadis.


B.   PEMBAHASAN
1.  Pengertian Kritik Matan
Kata naqd dalam bahasa arab lazim diterjemahkan dengan “kritik” yang berasal dari bahasa latin. Kritik itu sendiri berarti menghakimi, membandingkan, menimbang.[3]Naqd dalam bahasa arab popular berarti penelitian, analisis, pengecekan dan pembedaan. Salinan arti Naqd dengan pembedaan, kiranya bertemu sesuai dengan judul karya Imam Muslim Ibn Hajaj (w. 261 H) yang membahas kriti hadis yakni kitab al-Tamyiz. Selanjutnya dalam pembicaraan orang indonesia, kata “kritik” penganalisaan, ada uraian pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya. Dari berbagai macam arti kebahasaan tersebut, kata “kritik” bisa diartikan sebagai upaya membedakan antara yang benar (asli) dan yang salah (tiruan/palsu).[4]
Kata dasar matn dalam bahasa arab berarti “punggung Jalan” atau “bagian tanah yang keras dan menonjol ke atas”. Apabila dirangkai menjadi matn al-hadits, menurut al-Thibiy, seperti yang di nukil oleh Musfir al-Damini adalah “kata-kata hadis yang dengannya terbentuk makna-makna.
Definisi ini sejalan dengan pandangan Ibnu al-Atsir Al-Jazari (w. 606 H) bahwa setiap matan hadis tersusun atas elemen lafal (teks) dan elemen Makna (konsep). Dengan demikian komposisi ungkapan matan hadis pada hakikatnya adalah pencerminan konsep idea yang intinya dirumuskan dalm bentuk teks.
Dari pengertian kata atau istilah kritik di atas, dapat ditegaskan bahwa  yang dimaksud dengan kritik matan hadis (naqd al-matn) dalam konteks ini ialah  usaha untuk  menyeleksi matan-matan hadis sehingga dapat ditentukan antara matan-matan  hadis yang sahih atau lebih kuat dan yang tidak. Kesahihan yang berhasil diseleksi dalam kegiatan kritik matan tahap pertama ini baru pada tahap menyatakan kesahihan matan[5]

2.  Metode Kritik Matan Hadits
Dilihat dari materi atau objek kritiknya, model kritik teks/matan hadis Nabi dapat dibagi menjadi dua macam; (1)  kritik matan  pra kodifikasi “semua” hadis, dalam kitab-kitab hadis. dan (2) kritik matan pasca kodifikasi “semua hadis” dalam kitab-kitab hadis.[6]
Pengklasifikasian ini diperlukan karena  memiliki implikasi terhadap metode atau teknik kritik matan hadis. Berikut ini akan diuraikan metode kritik matan-matan hadis pra kodifikasi dan pasca kodifikasi.
1. Metode kritik matan hadis pra kodifikasi.
Dari berbagai teknik dalam kritik matan hadis periode ini secara umum dapat dikategorikan memakai metode perbandingan (comparative) dan/atau rujuk silang (cross reference).  Di antara teknik-teknik perbandingan yang tercatat pernah dipraktikkan adalah dengan teknik sebagai berikut:
a. Membandingkan  matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang berkaitan.
Teknik ini kerap kali dilakukan oleh sejumlah sahabat Nabi. Umar bin Khattab misalnya, ia  pernah  mempertanyakan dan kemudian  menolak hadis yang diriwayatkan oleh  Fatimah bin Qais yang menyatakan  bahwa wanita yang dicerai  tidak berhak menerima uang nafkah (dari mantan suaminya).  Menurut Umar (matan) hadis tersebut,  bila dibandingkan tidak sejalan dengan bunyi ayat al-Qur’an.  Demikian juga ‘Aisyah, dalam beberapa kasus ia pernah mengkritik sejumlah (matan) hadis yang disampaikan (diriwayatkan) oleh sahabat lainnya yang menurut pemahamannya tidak sejalan  dengan kandungan ayat al-Qur’an. Sebagai contoh  beliau mengkritik hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan ibnu ‘Umar yang menyatakan bahwa orang yang  meninggal dunia  akan disiksa  karena ratapan tangis keluarganya.  Menurut ‘Aisyah hadis tersebut tidak sejalan dengan al-Qur’an.
b. Membandingkan (matan-matan)  hadis dalam dokumen tertulis dengan hadis-hadis yang disampaikan  dari hafalan.
Dalam teknik ini apabila  ada perbedaan  antara versi  tulisan dengan versi lisan, para ulama  biasanya  lebih memilih versi tulisan daripada versi lisan, karena dianggap lebih kuat (ahfaz). Imam Bukhari (w. 256 H=870 M) misalnya, beliau pernah melakukan teknik ini pada saat menghadapi matan hadis   tentang mengangkat tangan ketika akan ruku dalam shalat, yang diriwayatkan oleh  Sufyan melalui Ibnu Mas’ud. Setelah membandingkannya, Bukhari memutuskan untuk memilih  hadis yang diriwayatkan oleh Yahya bin Adam  yang teleh mengeceknya dari kitab  ‘Abdullah bin Idris (dalam versi tulisan), dan pada matan tersebut tidak memuat redaksi yang mengundang perselisihan.
c.  Perbandingan antara  pernyataan dari seorang periwayat yang disampaikan pada waktu yang berlainan.
Teknik perbandingan ini pernah dipraktikkan oleh ‘Aisyah salah seorang istri nabi. Aisyah pernah meminta keponakannya, yaitu ‘Urwah bin Zubair untuk menanyakan  sebuah hadis, yaitu tentang ilmu dan dihilangkannya ilmu dari dunia,  kepada ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘As} (w. 65 H=685 M) yang tengah  menunaikan ibadah haji. ‘Abd Allah pun menyampaikan  hadis yang ditanyakan itu. Karena ‘Aisyah merasa tidak puas, tahun berikutnya, ia meminta Urwah kembali menemui ‘Abd Allah yang naik haji lagi dan menanyakan hadis yang telah ditanyakannya  setahun yang lalu.   Ternyata lafal hadis yang disampaikan oleh ‘Abd Allah sama persis dengan lafal yang disampaikannya setahun yang lalu.
d.  Membandingkan hadis-hadis dari beberapa  murid yang mereka terima dari satu guru.
Teknik ini misalnya dipraktikkan  oleh (Yahya) Ibnu Ma’in (w.233 H=848 M) salah seorang ulama kritikus hadis terkemuka. Ia pernah membandingkan  karya Hammad bin Salamah (w. 167 H=784 M) seorang kritikus terkenal dari Basrah, dengan cara  menemui dan mencermati tulisan delapan belas orang murid Hammad. Dari hasil perbandingan tersebut ternyata Ibnu Ma’in menemukan kesalahan-kesalahan baik yang dilakukan oleh Hammad maupun murid-muridnya.
e. Melakukan rujuk silang antara satu periwayat dengan periwayat  lainnya.
Teknik ini pernah dilakukan oleh Marwan bin Hakam. Peristiwanya bermula tatkala Marwan menerima hadis yang disampaikan oleh ‘Abd ar-Rahman bin al-Mugirah bin Hisyam bin al-Mugirah yang bersumber dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah yang menyatakan bahwa Rasulullah  saw. Ketika waktu fajar (salat Subuh)  beliau dalam keadaan berhadas besar (karena pada malam harinya bersenggama dengan istri beliau). Kemudian beliau mandi  dan tetap berpuasa (pada hari itu). Mendengar hadis tersebut, Marwan segera menyuruh  ‘Abd ar-Rahman  menemui Abu Hurairah, karena Abu Hurairah pernah meriwayatkan  hadis yang menyatakan bahwa apabila sesorang pada  waktu Subuh masih dalam keadaan berhadas besar  karena pada malam harinya  bersenggama dengan istrinya, maka Nabi menyuruh orang tersebut membuka puasanya. ‘Abd ar-Rahman  menemui Abu Hurairah  di Zulhulaifah, dan menyampaikan kepadanya hadis yang diriwayatkan melalui Aisyah dan Ummu Salah (tersebut di atas). Pada saat itu Abu Hurairah menjelaskan bahwa ia menerima hadis tersebut tidak langsung dari Nabi, melainkan dari al-Fadl bin ‘Abbas, sehingga menurut Abu Hurairah Fadl lah yang lebih mengetahui hadis tersebut.
Memperhatikan teknik-teknik yang dilakukan dalam kritik matan hadis pra kodifikasi di atas, teknik yang pertama yaitu membandingkan matan hadis dengan al-Qur’an masih mungkin dilakukan untuk kritik matan pasca kodifikasi. Sedangkan teknik-teknik lainnya tidak mungkin diaplikasikan terhadap kritik matan pasca kodifikasi, jika teknik perbandingan itu dilakukan dalam pengertian menemui langsung para periwayat. Namun, secara substansial, teknik-teknik kritik matan butir kedua sampai kelima dapat diaplikasikan untuk kritik matan pasca kodifikasi dengan cara membandingkan matan-matan hadis melalui penelusuran dan analisis keseluruhan para periwayat dan sanad-sanadnya.
2. Metode kritik matan hadis pasca kodifikasi.
Seperti halnya kritik matan hadis pra kodifikasi, untuk kritik matan pasca kodifikasi pun metode perbandingan tetap masih dominan dan relevan, hanya saja teknik-tekniknya perlu disesuaikan sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Secara rinci, dapat diuraikan bahwa teknik kritik matan pada fase ini, termasuk zaman sekarang, dapat dilakukan antara lain dengan teknik sebagai berikut:
a. Membandingkan matan-matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang     terkait atau memiliki kedekatan susunan redaksi.
Dalam teknik ini sesungguhnya tidak lagi sekedar kritik perbandingan teks, tetapi perlu melibatkan aspek pemahaman atau pemaknaan teks. Membandingkan teks atau matan-matan hadis dengan ayat-ayat al-Qur’an dari susunan redaksi adalah kurang proposional, karena redaksi atau lafal-lafal al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan matan-matan hadis hampir seluruhnya diriwayatkan menurut maknanya saja (riwayah bi al-ma’na). Namun demikian, perbandingan teks ini bukanlah hal yang mustahil dilakuan, dan analisis perbandingan matan-matan hadis dengan al-Qur’an tetap membantu proses kritik, misalnya ketika terjadi perbandingan matan-matan hadis yang semakna dengan redaksi yang berbeda, sementara terdapat ayat al-Qur’an  yang  memiliki kemiripan (susunan redaksinya). Dalam konteks ini jelaslah bahwa keakuratan dalam penujukan ayat yang menjadi pembandingnya merupakan prasyarat untuk dapat melakukan kritik matan hadis melalui ayat al-Qur’an.
b.  Membandingkan antara matan-matan hadis.
Agar dapat melakukan kritik matan hadis dengan teknik ini, hendaknya didahului dengan langkah pertama yaitu menghimpun matan-matan hadis. Untuk itulah penelusuran hadis-hadis (secara lengkap sanad dan matannya) kepada sumber-sumber aslinya yang dikenal dengan istilah takhrij al-hadis,  dalam tahap ini sangatlah diperlukan.  Matan-matan hadis hendaknya yang memiliki kesamaan makna, dan lebih bagus lagi yang susunan redaksi atau lafalnya satu sama lain memiliki kemiripan. Ini penting karena dimungkinkan bahwa hadis-hadis itu pada mulanya bersumber dari orang yang sama, kemudian mengalamai perbedaan redaksi karena diriwayatkan oleh para periwayat berikutnya secara makna. Namun, jika hadisnya hanya satu (teks atau naskah  tunggal), tetap bisa  diajukan untuk dilakukan kritik matan/teks.  Dari segi kualitas, idealnya matan-matan hadis  yang hendak diteliti, sanadnya pun telah diteliti dan dinyatakan sahih. Dengan demikian kegiatan kritik matan merupakan kegiatan lanjutan dari kegiatan kritik sanad. Di samping itu, dalam keadaan tertentu terkadang diperlukan skema sanad dari semua hadis yang dihimpun (melakukan i’tibar as-sanad) untuk mengetahui kemungkinan ada tidaknya persambugan dan pertemuan para periwayat dalam sanad-sanad tersebut dan keterkaitannya dengan perbandingan susunan redaksi matan di antara matan-matan yang akan dikritisi.
Cara menghimpun matan-matan  hadis untuk kepentingan kritik matan ini, ialah dengan melihat kitab-kitab kumpulan hadis yang menggunakan sistematika perbab atau pertema, seperti kitab-kitab hadis yang tergolong kategori sunan. Selain itu, dapat pula mengambilnya dari kitab-kitab kumpulan hadis tematik seperti kitab Riyad as-Salihin karya Imam Nawawi, dan kitab Bulug al-Maram karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Hanya saja pada kitab-kitab tematik, hadis-hadisnya tidak disertai sanad sehingga ketika diperlukan analisis sanad untuk menelusuri dan membandingkan  matan-matannya harus merujuk kepada kitab-kitab aslinya.  Cara lainnya, dapat ditempuh dengan melakukan penelusuran berdasarkan lafal yang sama atau lafal-lafal yang berbeda namun memiliki kesamaan atau kemiripan makna. Untuk ini dapat menggunakan bantuan al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis an-Nabawi. Dapat pula menelusuri hadis-hadis tematik dengan bantuan Miftah Kunuz as-Sunnah.
Setelah matan-matan  hadis terkumpul, langkah berikutnya adalah menganalisis atau mengkritiknya secara cermat dengan cara membandingkan matan-matan hadis satu sama lain. Perbandingan matan-matan hadis terutama menyangkut persamaan dan perbedaan antar matan dalam pemakaian lafal-lafalnya dan susunan redaksinya. Hal yang tidak kalah pentingnya dalam perbandingan antar matan itu adalah kemungkinan adanya perbedaan dalam hal tambahan redaksi atau lafal, yakni adanya idraj atau ziyadah.  Hal tersebut   bisa saja terjadi karena adanya tambahan atau kekurangan  lafal atau redaksi baik karena adanya unsur kesengajaan (dengan tujuan yang semula positif), ataupun tidak, atau karena kekeliruan dan kelalaian periwayat yang sifatnya manusiawi.
Secara teknis, metode kritik matan hadis dengan membandingkan antara matan tertentu  dengan matan-matan lainnya dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan melakukan perbandingan matan-matan hadis yang redaksinya ada perbedaan. Matan-matan hadis tersebut bisa saja masih dalam satu kitab yang disusun oleh satu penyusun/penghimpun (mukharij), ataupun pada kitab-kitab hadis yang berbeda, namun semuanya bersumber atau bertemu pada satu periwayat yang sama.
Dari perbandingan itu biasanya ada saja perbedaan redaksi, namun perbedaan itu dapat ditoleransi sepanjang kandungannya sama.  Namun, perbedaan redaksi menjadi penting dikritisi ketika ternyata di antara matan-matan hadis ada yang memuat kata atau kalimat tertentu sebagai tambahan ataupun kekurangan, sementara kata atau kalimat tersebut  memuat informasi  yang penting karena dapat menyamakan atau membedakan dengan matan-matan  hadis lainnya.  Bahkan persoalan sama tidaknya redaksi, bukan sekedar makna yang dikandungnya menjadi sesuatu yang signifikan misalnya matan atau redaksi hadis yang dipakai sebagai bacaan ibadah,  seperti bacaan-bacaan dalam salat, haji dan sebagainya.
Untuk keperluan kajian metode tematik hadis pun, kritik matan ini sangat membantu. Dalam konteks ini, pengkaji matan-matan secara tematik, tidak akan tergesa-gesa menoleransi perbedaan dan menganggapnya bahwa perbedaan tersebut saling melengkapi atau menguatkan (ikhtilaf at-takamul aw at-tanasuk), namun akan terlebih dahulu menyeleksinya.
Teknik lainnya yang dapat dilakukan ialah dengan cara membandingkan matan-matan hadis yang termuat dalam kitab-kitab hadis  berdasarkan adanya perbedaan penulisan atau cetakan. Tentu saja hal ini dapat dilakukan, karena diawali dari  membandingkan matan-matan hadis yang ternyata ada perbedaan.
3.  Langkah-Langkah Meneliti Kualitas Matan Hadits
Adapun langkah-langkah dalam meneliti kualitas matan hadits melalui beberapa pendekatan sebagai berikut :
a.  Penelitian matan hadis dengan pendekatan hadis sahih
Selain membandingkan hadis yang mempunyai sanad yang sama dalam melakukan kritik matan, juga membandingkan hadis-hadis yang satu tema namun berbeda sanadnya.
Menurut muhadditsin, sekiranya kandungan suatu matan hadis bertentangan dengan matan hadits lainnya, maka perlu diadakan pengecekan secara cermat, sebab Nabi Muhammad Saw tidak mungkin melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan perbuatan yang lainnya, atau mengucapkan suatu kata yang bertentangan dengan perkataan yang lain, demikian pula dengan Alquran. Pada dasarnya, kandungan matan hadis tidak ada yang bertentangan, baik dengan hadis maupun dengan Alquran.
b.  Penelitian matan hadis dengan pendekatan al Quran
Penelitian dengan pendekatan ini adalah dilatar belakangi oleh pemahaman bahwa Al quran adalah sebagai sumber pertama dan utama dalam islam untuk melaksanakan berbagai ajaran, baik yang usul maupun yang furu’, maka Al quran haruslah berfungsi sebagai penentu hadis yang dapat diterima dan bukan sebaliknya. Hadis yang tidak sejalan dengan Al Quran haruslah ditinggalkan sekalipun sanadnya sahih. Hadis yang dapat dibandingkan dengan Alquran hanyalah hadis yang sudah dipastikan kesahihannya, baik dari segi sanad maupun dari matan.
c.  Penelitian matan hadis dengan pendekatan bahasa
Penelitian bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis tertuju pada beberapa objek: pertama, struktur bahasa; artinya apakah susunan kata dalam matan hadis yang menjadi objek penelitian sesuai dengan kaidah bahasa arab atau tidak. Kedua, kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, apakah menggunakan kata-kata yang lumrah dipergunakan bangsa arab pada masa Nabi Muhammad Saw. Atau menggunakan kata-kata baru, yang muncul dan dipergunakan dalam literatur arab modern? Ketiga, matan hadis tersebut menggambarkan bahasa kenabian. Keempat, menelusuri makna kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, dan apakah makna kata tersebut ketika diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw. Sama makna yang dipahami oleh pembaca atau peneliti.
Dengan penelusuran bahasa, muhadditsin dapat membersihkan hadis Saw. Dari pemalsuan hadis, yang muncul karena komplik politik dan perbedaan pendapat dalam bidang fiqih dan kalam. Melalui penelitian bahasa, pembaca dapat mengetahui makna dan tujuan hadis Nabi Muhammad Saw.
            d.  Penelitian matan hadis dengan pendekatan sejarah
Salah satu langkah yang ditempuh muhadditsin untuk melakukan penlitian matan hadis adalah mngetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis (asbab wurud al hadits ). Sebenarnya, asbab wurud al hadis tidak ada pengaruhnya secara langsung dengan kualitas suatu hadis. Namun, yang tepat adalah mngetahui asbab wurud mempermudah memahami kandungan hadis. Mengikatkan diri dengan asbab wurud al hadits dalam melakukan kritik hadis akan memprsempit wilayah kajian, karena sangat sedikit hadis yang diketahui memiliki asbab wurud.
  
C.   KESIMPULAN
Istilah kritik matan hadits, di pahami sebagai upaya pengujian atas keabsahan matan hadits, yang di lakukan untuk memisahkan antara matan-matan hadits yang sahih dan yang tidak sahih. Dengan demikian, kritik matan tersebut, bukan di maksud untuk mengoreksi kelemahan sabda Rasulullah, akan tetapi di arahkan kepada redaksi dan makna guna menetapkan keabsahan suatu hadits. Karena itu kritik matan merupakan upaya positif dalam rangka menjaga kemurnian matan hadits, di samping juga untuk mengantarkan kepada pemahaman yang lebih tepat terhadap hadits Rasulullah. baik secara lafdzi (lafaz) maupun ma’nawi (makna).
Dari uraian di atas, perlu ditegaskan kembali bahwa kritik matan hadis merupakan bagian yang sangat penting dan integral dalam proses studi (matan) hadis. Secara praktis, kritik ini memang telah ada sejak para sahabat Nabi, dan dilanjutkan oleh para kritikus hadis terutama pra kodifikasi hadis.
untuk meniliti suatu matan hadits dapat menggunakan beberapa pendekatan, sebagai berikut :
1. Penelitian matan hadits dengan pendekatan hadis shahih
2. Penelitian matah hadits dengan pendekatan Alqur’an
3. Penelitian matan hadits edengan pendekatan bahasa
4.
Penelitian matan hadits dengan pendekatan sejarah


[1] Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis, Jogyakarta: LESFI, hlm. 41
[2] Umi Sumbulah, Kritik Hadits Malang Press, hlm.94
[3] Atar Semi, Kritik sastra (Bandung: Angkasa 1987) hlm.7
[4] Ya’kub Ali Mustafa, Kritik Matan Hadis, Yogyakarta : Teras, Cet. I, hlm. 9
[5] M. Syuhudi Ismail,. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 47
[6] Muhammad Musthafa Azami,.  Metodologi Kritik Hadis.  Terj. A. Yamin. (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), h. 82

0 komentar:

Posting Komentar