A. PENDAHULUAN
Diskursus mengenai epistemologi merupakan wacana
yang menarik untuk dibahas, karena epistemologi merupakan basis utama
bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Metode, sistem dan model pemahaman yang
digunakan sangat menentukan produk dari sebuah pengetahuan. Karena itu, problem
rusaknya pemikiran, kerancuan dan keraguan dalam memahami pengetahuan yang
dialami oleh manusia umumnya, akibat dari kekeliruan epistemologi.
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang
membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur dan validitas atau
kebenaran pengetahuan. Dalam kaitannya dengan ilmu, landasan epistemologi
mempertanyakan bagaimana proses diperolehnya ilmu pengetahuan, bagaimana
prosedurnya, hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan
yang benar, apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri, apa kriterianya, dan
cara atau tekniknya atau sarana apa yang membantu dalam proses mendapatkan ilmu
pengetahuan.[1]
Landasan
epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam metode ilmiah. Pada
dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh
pengetahuannya, berdasarkan; (a) kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan
argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah
berhasil disusun, (b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari
kerangka pemikiran tersebut, (c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis guna
menguji kebenaran pernyataannya secara faktual.[2]
Secara umum, istilah epistemologi berasal
dari bahasa Yunani Kuno, dengan asal kata “episteme” yang berarti pengetahuan,
dan “logos” yang berarti teori. Secara etimologi, epistemologi
berarti teori pengetahuan. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas
atau mengkaji tentang asal, struktur, metode, serta keabsahan pengetahuan. “Epistemology
is the branch of philosophy which investigates the origin, structure, method,
and validity of knowledge”.[3]
Menurut
Langeveld (1961), epistemologi membicarakan hakikat pengetahuan, unsur-unsur
dan susunan berbagai jenis pengetahuan, pangkal tumpuannya yang fundamental,
metode-metode dan batasan-batasannya. Epistemologi membahas persoalan
pengetahuan. Mungkinkah pengetahuan diperoleh atau sebaliknya dan dapatkah kita
memiliki pengetahuan yang benar. Dengan kata lain, pengetahuan yang kita
peroleh merupakan pengetahuan yang nyata dan benar, bukan sebatas khayalan atau
angan-angan semata.[4]
Menurut
al-Jabiri, epistemologi (an-nidham al-ma’rifi), didefinisikan sebagai
“kumpulan dari konsep, prinsip dan cara kerja untuk mencari pengetahuan
yang mengandung dimensi sejarah dalam struktur tak sadar.” Ia membagi
epistemologi menjadi tiga, bayani, irfani dan burhani.[5].
Pengetahuan
rasional merupakan epistemologi burhani; yakni pengetahuan yang diperoleh
dengan latihan rasio atau akal semata, tidak disertai dengan observasi terhadap
peristiwa-peristiwa faktual. Pembahasan lebih lanjut seputar epistemologi
burhani, akan diuraikan secara lebih meluas.
Secara
umum yang menjadi perbedaan antara epistemologi burhani dengan yang lainnya
adalah: dimana epistemologi bayani merupakan sistem pengetahuan yang
berpijak pada teks (nash), irfani sebagai sistem pengetahuan melalui
intuisi atau dimensi bathin, sedangkan burhani lebih menekankan pada
potensi akal dan indera (demonstratif) dalam memahami pengetahuan. Ketiga
epistemologi tersebut berkembang dalam realitas keilmuan Islam sebagai metode
pengembangan pengetahuan.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Epistemologi Burhani
Sebagaimana telah dikemukakan di
atas, bahwa epistemologi burhani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan
latihan rasio atau akal semata. Prinsip pengetahuan rasional dapat diterapkan
pada pengalaman indera, tetapi tidak disimpulkan dari pengalaman indera.[6]
Secara spesifik pengertian
epistemologi burhani, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “al-burhan”
yang berarti argumen (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah).
Dan distinc (al-fashl), dalam bahasa Inggris adalah demonstration,
yang mempunyai akar bahasa latin dari kata demontratio (berarti
memberi isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan). Dalam perspektif logika (al-mantiq),
burhani merupakan aktivitas berfikir untuk menetapkan kebenaran melalui
metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan presmis tersebut
terhadap premis yang lain dan dibenarkan oleh nalar atau telah terbukti
kebenarannya. Sedang dalam pengertian umum, burhani adalah aktivitas
nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.
Istilah burhani yang
mempunyai akar pemikiran dalam filsafat Aristoteles ini, digunakan oleh
al-Jabiri sebagai sebutan terhadap sebuah sistem pengetahuan (nidham ma’rifi)
yang menggunakan metode tersendiri dalam pemikiran dan memiliki pandangan dunia
tertentu, tanpa bersandar pada otoritas pengetahuan yang lain. Ia bertumpu pada
kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empiris dan penilaian akal yang
mengikat pada sebab akibat. Cara berfikir seperti ini tidak dapat dilepaskan
dari pengaruh logika Aristoteles.
Nalar burhani masuk pertama
kali ke dalam peradaban Arab-Islam dibawa oleh al-Kindi (185-252 H) melalui
sebuah tulisannya, yaitu al-Falsafah al-Ula. Sebuah tulisan tentang
filsafat yang didasari oleh filsafat Aristoteles. Al-Kindi menghadiahkan
tulisan ini kepada khalifah al-Makmun (218 H-227 H). Di dalam al-Falsafah
al-Ula, al-Kindi menegasakan bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan
manusia yang menempati posisi paling tinggi dan paling agung, karena dengannya
hakikat segala sesuatu dapat diketahui. Melalui tulisan itu pula, al-Kindi
menepis keraguan orang-orang yang selama ini menolak keberadaan filsafat dan
menyatakan bahwa filsafat adalah jalan mengetahui kebenaran.[7]
Sebagaimana telah diuraikan di atas,
Aristoteles merupakan orang pertama yang membangun epistemologi burhani yang
populer dengan logika mantiq yang meliputi persoalan alam, manusia dan
Tuhan. Aristoteles sendiri menyebut logika itu dengan metode analitik. Analisis
ilmu atas prinsip dasarnya baik proporsi amliyah (Categorical
Proposition) maupun shar’iyah (Hypothetical Proposition) pada
hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan berupa aturan-aturan untuk menjaga
kesalahan berpikir. Wilayah yang menjadi obyeknya meliputi 10 persoalan
substansi, yang pertama dan yang sembilan adalah oksiden dengan segala
derivasinya; kuantitas (panjang), kualitas, hubungan (idafah), tempat
atau ruang, waktu, kepemilikan, fiil (pasi), infi'al (affectif) atau
ilmu pengetahuan.
Adapun
kecakapan untuk berpikir lurus dalam penalaran dibedakan menjadi dua kegiatan:
analitika dan dialektika. Analitika dipakai untuk menyebut cara penalaran dan
argumentasi yang berdasarkan pada pernyataan-pernyataan yang benar, akan tetapi
burhani adalah aktifitas berpikir secara mantiqi yang identik dengan
silogisme atau al-qiyas al-jami` yang tersusun dari
beberapa proposisi. Dengan demikian, burhani (al-qiyas al-'ilmi)
menekankan tiga syarat, yaitu:
a. Pertama, mengetahui terma perantara yang 'illah
(causa) bagi kesimpulan (ma'rifat al-hadd al-ausat wa al-natijah);
b. Kedua, keserasian hubungan relasional
antara terma-terma dan kesimpulan (tartib al-`alaqah bayn al-illah wa
al-ma'lul), antara terma perantara dan kesimpulan-kesimpulan sebagai
sistematika qiyas; dan
c. Ketiga, natijah (kesimpulan) harus
muncul secara otomatis dan tidak mungkin muncul kesimpulan yang lain. Qiyas
ketiga ini yang inheren dengan epistemologi burhani.
Dari uraian tersebut, jelas bahwa
logika Aristoteles lebih memperlihatkan nilai epistemologi dari pada logika
formal. Demikian pula halnya dengan diskursus filsafat kita dewasa ini yang
melihat persoalan alam (alam, Tuhan dan manusia) bukan lagi persoalan proposisi
metafisika karena epistemologi burhani dikedepankan untuk menghasilkan
pengetahuan yang valid dan konstruksi pengetahuan yang meyakinkan tentang
persoalan duniawi dan alam. Dinamika kehidupan kontemporer dewasa ini dapat
memilah masing-masing pendekatan epistemologik: bayani dan `irfani
karena masing-masing memiliki tipikal satu sama lain, dan epistemologi burhani
berada pada posisi penyempurna keserasian hubungan antara kedua epistemologi
tersebut.
Antara epistemologi bayani
dan `irfani, terkesan berseberangan dalam menangkap wacana masing-masing
karena perbedaan episteme. Namun demikian, episteme keduanya
masih dibangun atas nilai al-Qur'an dan hadits. Meskipun epistemologi Islam di
satu pihak membahas masalah-masalah epistemologi pada umumnya, tetapi di lain
pihak, dalam arti khusus filsafat Islam juga menyangkut pembicaraan mengenai
wahyu dan ilham sebagai sumber pengetahuan dalam Islam; wahyu sebagai sumber
primer, sedangkan ilham pengetahuan bagi epistemologi `irfani.
Selanjutnya tingkat epistemologi Islam antara lain:
a. perenungan
(contemplation) tentang sunnatullah sebagaimana dianjurkan di dalam
al-Qur'an al-Karim
b.
penginderaan (sensation)
c.
persepsi (perception)
d.
penyajian (representation)
e.
konsep (concept);
f. pertimbangan
(judgement)
g. penalaran
(reasoning)
Berdasarkan uraian di atas, jelas
bahwa epistemologi burhani dapat dipandang dari dua sisi, yaitu: sebagai
aktivitas pengetahuan dan sebagai diskursus pengetahuan.
a. Epistemologi
burhani sebagai aktivitas pengetahuan. Burhani adalah episteme yang
beragumentasi secara deduktif.
b. Epistemologi
burhani sebagai diskursus pengetahuan. Burhani merupakan dunia pengetahuan
falsafah yang masuk ke budaya Arab Islam melalui terjemahan dari karya-karya
Aristoteles. Para pemikir muslim yang menerapkan episteme burhani di
antaranya seperti, Ibn Rusyd, al-Syatibi, dan Ibn Khaldun. Ibn Rusyd berusaha
menerapkan dasar-dasar episteme burhani dengan cara membela argumen
secara kausalitas, yakni proses penelusuran terhadap akibat-akibat sesuatu ke
sebab-sebabnya sebelum menuju ke sebab utamanya, yakni Allah swt. Usaha Ibn
Rusyd tersebut kemudian dilanjutkan oleh al-Syatibi dalam disiplin ilmu ushul
fiqh. Beliau mengemukakan bahwa disiplin ushul fiqh didasarkan pada prinsip “kulliyyah
al-syar’iyah” (ajaran-ajaran universal dari agama) dan pada prinsip “al-maqasid
al-syar’i” yang befungsi sebagai pembentuk unsur-unsur penalaran burhani.
Sedangkan Ibn Khaldun menerapkan episteme burhani yang dituangkan dalam
karyanya berjudul “al-Muqaddimah”. Pada awalnya, Ibn Khaldun menjelaskan
riwayat hidup para pendahulu, kemudian menganalisis satu peristiwa ke peristiwa
berikutnya dalam setiap babnya kemudian menarik kesimpulan dan pelajaran dari
setiap kasus dan peristiwa itu. Jika dilihat, dalam kitab “al-Muqaddimah” tersebut,
Ibn Khaldun ingin menunjukkan pengetahuan tentang bagaimana negara-negara dari
awal terbentuknya hingga proses kejatuhannya. Hal ini menunjukkan bahwa Ibn
Khaldun berusaha menjadikan sejarah sebagai ilmu Burhani. Sejarah yang ditulisnya
adalah sejarah ilmiah yang berintikan “penelitian, penyelidikan, dan analisis
yang mendalam akan sebab-sebab dan latar belakang terjadinya sesuatu. Selain
itu sejarah juga berintikan pengetahuan yang akurat tentang asal usul,
perkembangan serta riwayat hidup dan matinya kisah peradaban manusia”.
2.
Karakteristik dan Unsur-unsur Pokok Epistemologi Burhani
Dalam memandang proses keilmuan,
kaum burhaniyun bertolak dari cara pikir filsafat dimana hakikat sebenarnya
adalah universal. Hal ini akan menempatkan “makna” dari realitas pada
posisi otoritatif, sedangkan ”bahasa” yang bersifat partikular hanya sebagai
penegasan atau ekspresinya. Hal ini tampak sejalan dengan penjelasan
al-Farabi bahwa “makna” datang lebih dahulu daripada “kata”, sebab makna datang
dari sebuah pengkonpsesian intelektual yang berada dalam tataran pemikiran atau
rasio yang diaktualisasikan dalam kata-kata. Al-Farabi memberikan pengandaian
bahwa seandainya konsepsi intelektual itu letaknya dalam kata-kata itu sendiri,
maka yang lahir selanjutnya bukanlah makna-makna dan pemikiran-pemikiran baru
tetapi kata-kata yang baru.
Oleh karena itu, ilmu burhani
berpola dari nalar burhani dan nalar burhani bermula dari proses
abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna, sedang
makna sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan
dimengerti, sehingga disinilah ditempatkan kata-kata; dengan redaksi lain,
kata-kata adalah sebagai alat komunikasi dan sarana berpikir disamping sebagai
simbol pernyataan makna.[8]
Secara struktural, proses yang
dimaksud di atas terdiri dari tiga hal, pertama proses eksperimentasi
yakni pengamatan terhadap realitas; kedua proses abstraksi, yakni
terjadinya gambaran atas realitas tersebut dalam pikiran; ketiga,
ekspresi yaitu mengungkapkan realitas dalam kata-kata. Berkaitan dengan cara
ketiga untuk mendapatkan ilmu burhani di atas, pembahasan tentang
silogisme demonstratif atau qiyas burhani menjadi sangat signifikan.
Silogisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu sullogismos yang merupakan
bentukan dari kata sullegin yang artinya mengumpulkan, yang menunjukkan
pada kelompok, penghitungan dan penarikan kesimpulan. Kata tersebut
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi qiyas atau tepatnya adalah qiyas
jama’i yang karakternya mengumpulkan dua proposisi-proposisi (qadliyah)
yang kemudian disebut premis, kemudian dirumuskan hubungannya dengan bantuan terminus
medius atau term tengah atau menuju kepada sebuah konklusi yang meyakinkan.
Metode ini paling populer di kalangan filsuf
Peripatetik. Sementara Ibn Rusyd mendefinisikan demonstrasi dengan ketentuan
dari satu argument yang konsisten, tidak diragukan lagi kebenarannya yang
diperoleh dari premis yang pasti sehingga kesimpulan yang akan diperoleh juga
pasti, sementara bentuk dari argument harus diliputi oleh fakta akali. Jadi
silogisme demonstratif atau qiyas burhani yang dimaksud adalah silogisme
yang premis-premisnya terbentuk dari konsep-konsep yang benar, yang meyakinkan,
sesuai dengan realitas (bukan nash) dan diterima oleh akal. Aplikasi dari
pembentukan silogisme ini harus melewati tiga tahap, yaitu: tahap pengertian (ma’qulat),
tahap pernyataan (ibarat) dan tahap penalaran (tahlilat).
Tahapan pengertian merupakan
proses awal yang letaknya dalam pikiran sehingga di sinilah sebenarnya terjadi
pengabstraksian, yaitu merupakan aktivitas berpikir atas realitas hasil
pengalaman, pengindraan, dan penalaran untuk mendapatkan suatu gambaran.
Sebagaimana Aristoteles, pengertian ini selalu merujuk kepada sepuluh kategori
yaitu: satu substansi (jauhar) yang menopang berdirinya sembilan
aksidensi (‘ard) yang meliputi kuantitas, kualitas, aksi, pasi, relasi,
tempat, waktu, sikap dan keadaan.
Tahapan pernyataan adalah
dalam rangka mengekspresikan pengertian tersebut dalam kalimat yang disebut
proposisi (qadliyah). Dalam proposisi ini harus memuat unsur subyek
(maudlu’) dan predikat (muhmal) serta adanya relasi antara keduanya,
yang darinya harus hanya mempunyai satu pengertian dan mengandung kebenaran
yaitu adanya kesesuaian dengan realitas dan tiada keragu-raguan dan
persangkaan.
Untuk
memperoleh sebuah pengertian dan tidak didasari keraguan atau persangkaan, maka
pembuatan pernyataan harus mempertimbangan al-alfadz
al-khamsah yang ada dalam isagoge Aristoteles
atau yang biasa disebut dengan lima konsep universal yang terdiri dari jenis
(genus) yakni konsep universal yang mengandung suatu pengertian yang
masing-masing sama hakikatnya, nau’ (spises) yaitu konsep universal yang
mengandung satu pengertian tetapi masing-masing hakikatnya berbeda, fasl
(differentia) yaitu sifat yang membedakan secara mutlak, khas (propirum)
atau sifat khusus yang dimiliki oleh suatu benda tetapi hilangnya sifat ini
tidak akan menghilangkan eksistensi benda tersebut dan ard (aksidensi) atau
sifat khusus yang tidak bisa diterapkan pada semua benda.
Tahapan penalaran; ini
dilakukan dengan perangkat silogisme. Sebuah silogisme harus terdiri dari dua
proposisi (al-muqaddimatani) yang kemudian disebut premis mayor (al-hadd
al-akbar) untuk premis yang pertama dan premis minor (al-hadd
al-ashghar) untuk premis yang kedua, yang kedua-duanya saling berhubungan
dan darinya ditarik kesimpulan logis.
Mengikuti
Aristoteles, al-Jabiri dalam hal ini menegaskan bahwa setiap yang burhani
pasti silogisme, tetapi belum tentu yang silogisme itu burhani. Silogisme
yang burhani (silogisme demonstrative atau qiyah burhani) selalu
bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, bukan untuk tujuan tertentu seperti
yang dilakukan oleh kaum sufistaiyah (sophis). Silogisme (al-qiyas)
dapat disebut sebagai burhani, jika memenuhi tiga syarat: pertama, mengetahui
sebab yang menjadi alasan dalam penyusunan premis; kedua, adanya
hubungan yang logis antara sebab dan kesimpulan; dan ketiga, kesimpulan
yang dihasilkan harus bersifat pasti (dharuriyyah), sehingga tidak ada
kesimpulan lain selain itu. Syarat pertama dan kedua adalah yang terkait dengan
silogisme (al-qiyas). Sedang syarat ketiga merupakan karakteristik
silogisme burhani, dimana kesimpulan (natijah) bersifat pasti,
yang tak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian yang lain. Hal ini
dapat terjadi, jika premis-premis tersebut benar dan kebenarannya telah
terbukti lebih dulu ketimbang kesimpulannya, tanpa adanya premis penengah
(al-hadd al-awsath).
Dalam
perspektif tiga teori kebenaran, maka kebenaran yang dihasilkan oleh pola pikir
burhani tampak ada kedekatannya dengan teori kebenaran koherensi atau
konsistensi. Dalam burhani menuntut penalaran yang sistematis, logis,
saling berhubungan dan konsisten antara premis-premisnya, juga secara benar
koheren dengan pengalaman yang ada, begitu pula tesis kebenaran konsistensi
atau koherensi. Kebenaran tidak akan terbentuk atas hubungan antara keputusan
dengan sesuatu yang lain, tetapi atas hubungan antara keputusan-keputusan itu
sendiri. Dengan kata lain, kebenaran ditegakkan atas dasar hubungan antara
keputusan baru dengan keputusan lain yang telah ada dan diakui kebenarannya
serta kepastiannya sehingga kebenaran identik dengan konsistensi, kecocokan dan
saling berhubungan secara sistematis. Berikut unsur-unsur pokok epistemologi
Islam.
Struktur fundamental
|
Epistemologi burhani
|
1.
Origin (sumber)
|
Nash/ Teks/ Wahyu (Otoritas Teks)
al-Akhbar,
al-Ijma’ (Otoritas Salaf) Al-’Ilm al-Tauqifi
|
2.
Methode (proses dan prosedur)
|
Ijtihadiyyah Istinbathiyyah/
Istintajiyyah/ Istidlaliyyah/ qiyasQiyas (Qiyas al-ghahib ‘ala al-syahid)
|
3.
Approach
|
Lughawiyyah (bahasa), Dalalah
Lughawiyyah
|
4.
Theoretical Framework
|
al-Ashl-al-far’, Istinbathiyyah
(pola pikir deduktif yang berpangkal pada teks), Qiyas al-Ilah
(Fi-kih), Qiyas al-dalalah (ka-lam), al-Lafdz-al-Makna,
‘Am-khash, Mustarak, Haqiqah, Majaz, Muhkam, Mufassar, Zahir, Khafi, Musykil,
Muj-mal, Mutasyabih
|
5.
Fungsi dan Peran Akal
|
Akal sebagai pengekang / pengatur
hawa nafsu (lihat Lisan al-‘Arab Ibn Man-dzur),
Justifikasi-Repeetitif-Taqlidi (pengukuh kebenaran/ otoritas teks), Al-‘Aql
al-Diniy
|
6.
Type of Argument
|
Dialektik (Jadaliyyah); al-‘Uqul
al Mtanafisah
Defensif – Apologetik – Polemik –
Dogmatik Pengaruh pola Logika Stonic (bukan logika Aristoteles)
|
7. Tolok
Ukur Validitas Keilmuan
|
Keserupaan/ kedekatan antara teks
(nash) dengan realitas
|
8. Prinsip-Prinsip
Dasar
|
Infishal (discontinue) = Atomistik
Tajwiz (keserbabolehan) = tidak
ada hukum kausalitas, Muqarabah (kedekatan, keserupaan), Analogi deduktif;
Qiyas
|
9.
Kelompok Ilmu-ilmu Pendukung
|
Kalam (Teologi), Fiqih
(Jurisprudensi) Fuqaha; Ushuliyyun, Nahwu (Grammar); Balaghah
|
Selanjutnya secara singkat, tokoh-tokoh dunia Islam yang
telah menerapkan epistemologi burhani, adalah:[9]
a. Ibnu
Rusyd (kalam dan filsafat). Ibnu Rusyd berusaha menerapkannya dengan jalan/cara
membela argument secara kausalitas. Ia menolak pandangan asy’ariyah tentang
prinsip tajwiz (keserbabolehan) karena dianggap mengingkari hukum
kausalitas, sama saja meruntuhkan bangunan burhani pada ilmu-ilmu alam termasuk
metafisika atau ilmu ketuhanan secara burhani yang dibangun atas dasar proses
penelusuran terhadap sebab-akibat sesuatu sebelum menuju kepada keputusan
akhir; Allah swt.
b. Al-Syatibi
(ushul fiqh). Al-Syatibi mengemukakan bahwa usul fiqh didasarkan pada prinsip kulliyyah
al-syari'ah (ajaran universal agama), dan prinsip al-maqasid
al-Syari’, serupa dengan sebab akhir sebagai pembentuk unsur
penalaran burhani.
c. Ibn
Khaldun (sejarah ilmiah). Sejarah ilmiah disini terdapat: penelitian,
penyelidikan, dan analisis yang mendalam akan sebab dan latar belakang
terjadinya sesuatu, selain itu mengandung asal-usul, perkembangan, riwayat
hidup dan matinya kisah peradaban manusia.
C. KESIMPULAN
Epistemologi Burhani adalah
aktifitas intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi (qadhiyyah)
melalui pendekatan penarikan kesimpulan (istintaj). Atau dengan kata
lain, burhani adalah penalaran akal dengan memanfaatkan kaidah-kaidah logika.
Pada perjalanan berikutnya, epistemologi ini hanya merujuk pada silogisme (al-Qiyas)
atau lebih menonjolkan qiyas. Sehingga dalam tradisi nalar Arab-Islam,
sebagaimana kritikan salah seorang tokoh Islam, epistemologi ini lebih akrab
dengan masalah-masalah hukum Islam (masail fiqhiyah) dari pada
problematika-problematika kemanusiaan yang perlu dihindari sejak dari
penyebabnya. Burhani dalam tataran praktis lebih menonjolkan
qiyas guna menyelesaikan masalah-masalah fikih saja.
[1]
ujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
Jakarta : Sinar Harapan, 1985, hlm. 34-35
[2]
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : Bumi
Aksara, 2010, hlm. 151-152
[3]
Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut, Markaz
ad-Dirasat Wahdah al-‘Arabiyah, 2007, bagian ketiga, hlm. 383-377
[4]
Uyoh Saduloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung : Alfabeta, 2009 ,
hlm. 30
[5]
Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql …, hlm. 37
[6]
Uyoh Saduloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung : Alfabeta, 2009 ,
hlm. 31-32
[7] Muhammad
Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut, Markaz ad-Dirasat
Wahdah al-‘Arabiyah, 2007, bagian ketiga, hlm. 416-417
Tidak ada komentar:
Posting Komentar