Pages - Menu

Sabtu, 27 Desember 2014

SEJARAH DAN PEMIKIRAN JABARIYAH DAN QADARIYAH

A. PENDAHULUAN
Permulaan dari perpecahan umat Islam, boleh dikatakan sejak wafatnya Nabi. Tetapi perpecahan itu menjadi reda, karena terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah.
Demikianlah berjalan masa-masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dalam kubu persatuan yang erat dan persaudaraan yang mesrah. Dalam masa ketiga khalifah itulah dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya dan mengembangkan Islam keseluruh alam. Tetapi setelah Islam meluas kemana-mana, tiba-tiba diakhir khalifah Utsman, terjadi suatu cedera yang ditimbulkan oleh tindakan Utsman yang kurang disetujui oleh pendapat umum.
Inilah asalnya fitnah yang membuka kesempatan untuk orang-orang yang lapar kedudukan, menggulingkan pemerintahan Utsman. Semenjak itulah, berpangkalnya perpecahan umat Islam sehingga menjadi beberapa golongan.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan sejarah dan pemikiran Jabariyah dan Qadariyah. Dalam makalah ini penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Jabariyah dan Qadariyah. Mencakup di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan ajaran-ajarannya secara umum.


B. PEMBAHASAN
1. Sejarah Timbulnya Pemikiran Jabariyah dan Qadariyah
Firqoh Jabariyah timbul bersamaan dengan timbulnya firqoh Qadariyah, dan tampak nya merupakan reaksi daripadanya. Daerah tempat timbulnya juga tidak berjauhan. Firqoh qadariyah timbul di Irak, sedangkan firqoh Jabaryiah timbul di Khurasan Persia.
            Pemimpinnya yang pertama adalah Jaham bin Sofwan. Karena itu firqoh ini kadang-kadang disebut Al-Jahamiyah. Ajaran-ajarannya banyak persamaannya dengan aliran Qurro’ agama Yahudi dan Aliran Ya’cubiah Agama Kristen. Mula-mula Jaham Bin Sofwan adalah Juru tulis dari seorang pemimpin bernama Suraih bin Harits, Ali Nashar bin Sayyar dan memberontak di daerah Khurasan terhadap kekuasaan Bani Umayah. Dia terkenal orang yang tekun dan rajin menyiarkan agama. Fatwanya yang menarik adalah bahwa manusia tidak mempunyai daya upaya, tidak ada ikhtiar dan tidak ada kasab. Semua perbuatan manusia itu terpaksa (Majbur) diluar kemaaunya, sebagaimana keadaan bulu ayam terbang kemana arah angin bertiup atau sepotong kayu di tengah lautan mengikuti arah hempasan ombak dan badai. Ringkasannya bahawa orang-orang jabariyah berpendapat bahawa manusia itu tidak mempunyai daya ikhtiar, merupakan kebalikan dari paham Qadariah, yang mana semua gerak manusia dipaksa adanya kehendak Allah SWT.
            Jabariyah berpendapat bahwa hanya Allah SWT sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua perbuatan itu sejak semula telah diketahui Allah SWT dan semua amal perbuatan itu adalah berlaku dengan qodrat dan iradat-Nya. Manusia tidak mencapuri sama sekali. Usaha manusia sama sekali bukan ditentukan oleh manusia sendiri. Qodrat dan iradat Allah SWT membekukan dan mencabut kekuasaan manusia sama sekali. Pada hakikatnya segala pekerjaan dan gareak-gerik manusia sehari-harinya adalah merupakan paksaan (majbur) semata-mata. Kebaikan dan kejahatan itu pun semata-mata paksaan pula, sekalipun nantinya manusia memperoleh balasan surga dan neraka.
            Pembalasan surga dan neraka itu bukan sebagai ganjaran atas kebaikan yang diperbuat manusia sewaktu hidupnya, dan balasan kejahatan yang dilarangnya, tetapi surga dan nerak itu semata-mata sebagai bukti kebesaran Allah SWT dalam qodrat dan Iradat-Nya.[1]
Adapun Pemikiran Paham Qadariyah mula-mula timbul sekitar tahun 70 H/689 M, di pimpin oleh Ma’bad al-Juhni al-Basri dan Ja’ad bin Dirham, Pada masa Pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Latar belakang timbulnya qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijakan politik bani umayah yang dianggap kejam. Apabila firqoh jabariyah berpendapat bahwa khalifah bani umayah membunuh orang, hal itu karena sudah di takdirkan Allah Swt. Maka firqoh Qadariah mau membatasi qadar tersebut. Mereka mengatakan bahwa kalau Allah Swt itu adil, maka Allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Manusia harus bebas menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik atau buruk. Jika Allah Swt telah menentukan terlebih dahulu nasib manusia, Maka Allah Swt itu zalim,  Manusia Harus Bebas Berkehendak.
Ajaran-ajaran firqoh qadariah segera mendapat pengikut yang cukup, sehingga khalifah segera mengambil tindakan dengan alasan demi ketertiban umum. Ma’bad al-Juhni dan beberapa pengikutnya ditangkap dan dia sendiri di hukum bunuh di Damaskus (80 H/690M). Setelah peristiwa ini, maka pengaruh paham qadariyah. Semakin surut, akan tetapi muncul nya firqoh mutazilah, sebetulnya dapat diartikan sebagai penjelmaan kembali paham-paham qadariyah.[2]
2. Pengertian Jabariyah dan Qadariyah
Dari segi bahasa, Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa atau terpaksa atau dipaksa.[3] Rosihon Anwar memberikan penjelasan yang dikutipnya dari Al-Munjid, bahwa kata Jabariyah berasal dari kata Jabara yang mengandung arti memaksa atau mengharuskan.[4] Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah suatu paham yang menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah,[5] dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah inggris paham Jabariyah disebut dengan fatalism atau predestination, yang berarti perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[6]
Sedangkan pengertian Qadariyah dari segi bahasa berasal dari bahasa Arab Qadara yang artinya kemampuan atau kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Artinya bahwa setiap manusia adalah pencipta bagi segala  perbuatannya tanpa ada campur tangan dari Tuhan, ia dapat berbuat atau meninggalkan sesuatu atas kehendaknya sendiri.[7]
Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
3. Doktrin-doktrin Jabariyah
Al-Syahrastānī membagi Jabariyah ke dalam dua kelompok, yaitu:
1.         Jabariyah Ekstrim yang sama yang sama sekali tidak memperkenankan perbuatan apa pun kepada manusia, tak terkecuali kekuasaan untuk berbuat;
2.         Jabariyah moderat yang mengakui bahwa manusia memiliki kekuasaan, tetapi mempertahankan bahwa ini merupakan sebuah kekuasaan yang sama sekali tidak efektif.[8]
Di antara pemuka Jabariyah ekstrim adalah sebagai berikut:
1.         Jahm bin Shafwān
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin Shafwān, ia berasal dari Khurasan,bertempat tinggal di Khufah. Ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator), ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintahan Bani Umayyah di Khurasan. Ia di tawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama. Banyak usaha yang dilakukannya untuk menyebarkan paham Jabariyah, di antaranya bepergian keberbagai tempat untuk menyebarkan paham ini, seperti ke Tirmidz dan Balk.[9]
Paham Jabariyah yang dibawa oleh Jahm bin Shofwan disebut dengan nama Jahmiyyah. Berikut ini adalah beberapa pendapat Jahm yang berkaitan dengan teologi, yaitu:
a)         Adalah haram hukumnya menerapkan suatu sifat kepada Allah yang juga dapat diterapkan kepada makhluk-makhluk-Nya. Hal ini berarti terdapat keserupaan antara Allah dan makhluk-Nya. Dengan demikian, Jahm menolak bahwa Allah bersifat hidup dan mengetahui, tetapi Jahm mengakui bahwa Allah bersifat kuasa, Allah adalah pencipta dan pelaku perbuatan. Sebab, kekuasaan, perbuatan, dan penciptaan tak akan bisa dipertalikan dengan makhluk mananpun.[10]
b)        Ia mengakui Ilmu Allah bukan sifat zat-Nya. Katanya: sesuatu yang belum diciptakan Allah tidak diketahui Allah. Kalau Allah lebih dahulu mengetahuinya dan baru diciptakan apakah Ilmu Allah terhadap sesuatu yang belum diciptakan sama dengan Ilmu Allah sesudah diciptakan? Dan kalau Ilmu Allah sebelum dan sesudah diciptakan sama maka dapat dikatakan Allah itu jahil. Karena itu Ilmu Allah terhadap sesuatu yang belum diciptakan tidak sama dengan Ilmu Allah terhadap sesuatu yang sudah diciptakan. Dan juga kalau Ilmu Allah sebelum dan sesudah diciptakan tidak sama berarti Ilmu Allah berubah, sedangkan yang dapat menerima perubahan itu adalah makhluk yang tidak abadi.[11]
c)         Mengenai kekuasaan atau kekuatan yang diciptakan, Jahm mengatakan bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kekuatan atas apapun, tidak pula bisa dikatakan manusia memiliki daya untuk berbuat. Manusia dalam segala perbuatannya ditentukan oleh Allah secara mutlak.[12]
d)        Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.[13]
e)         Jika seorang manusia memiliki pengetahuan (mengenai Tuhan), tetapi menolak-Nya secara lahiriah, penolakan ini tidak membuatnya menjadi kafir karena hal ini tidak menghilangkan pengetahuannya. Maka, dia masih tetap menjadi mukmin. Jahm lebih jauh mengatakan bahwa iman tidak tersusun dari bagian-bagian, yakni bahwa iman tidak bisa dibagi kepada kepercayaan, kata-kata, dan perbuatan. Selanjutnya, orang yang memiliki iman tidak saling melebihi dalam tingkatan keimanan, oleh karena itu iman para nabi dan iman orang-orang biasa berada pada tingkatan yang sama.[14]
2.      Ja’d bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulan Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayyah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayyah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Sebagaimana penjelasan Al-Ghuraby yang dikutip Rosihon Anwar dan Abdul Rozak menjelaskan sebagai berikut:
a)    Al-Qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
b)    Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
c)    Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.[15]
Tidak seperti kaum Jabariyah ekstrim, kaum Jabariyah moderat mempunyai pendapat berbeda tentang ketuhanan. Berikut ini akan dijelaskan pendapat kaum Jabariyah dari para pemukanya.
1.         An-Najjār
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjār (wafat 230). Para pengikutnya disebut An-Najjāriyyah atau Al-Husainiyyah. Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
a)              Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasb dalam teori Al-Asy’ari. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya tergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
b)        Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.[16]
2.         Ad-Dhirār
Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan An-Najjār, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirār mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yah Tuhan di akhirat, Dhirār mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[17]
4. Doktrin-doktrin Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan yang dikutipnya dari pendapat Ghurabi tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatanya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang  melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.[18] Salah seorang pemuka Qadariyah lain, An-Nazzam, mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya. Selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya.[19]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa doktrin Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendakya sendiri. Manusia mempunyai kewenagan untuk melakuakan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang ia lakukan dan juga behak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuat.
Faham takdir dalam pandangan qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhdap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alan semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an sunnatullah.
5. Ayat-ayat yang Dijadikan Dalil oleh kelompok Jabariyah dan Qadariyah
Paham-paham yang diajukan oleh kelompok Jabariyah dan Qadariyah ini bukan hanya berdasarkan rasionalitas pemikiran saja akan tetapi ada nash-nash Al-Qur’an yang dijadikan sebagai penopang akan pendapatnya, berikut ini akan dijelaskan ayat-ayat yang mereka jadikan sebagai dalil.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat membawa timbulnya paham Jabariyah adalah sebagai berikut:

Terjemahnya:
“Niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki.” [20]
(Q.S. Al-An’ām [6]: 111)

Terjemahnya:
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”[21]
(Q.S. Ash-Shaffāt [37]: 96)
Terjemahnya:
“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.”[22]
(Q.S. Al-Anfāl [8]: 17)

Terjemahnya:
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.”[23]
(Q.S. Al-Insān [76]: 30)
Ayat-ayat tersebut terkesan membawa seseorang pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah alasan yang menyebabkan pola pikir Jabariyah masih tetap ada di kalangan umat Islam hingga kini walaupun anjurannya telah tiada.
Sedangkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan kelompok Qadariyah sebagai pijakan adalah sebagai berikut:
 
Terjemahnya:
“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir.”[24]
(Q.S. Al-Kahfi [18]: 29)
Terlihat jelas dalam ayat ini menurut mereka bahwa Tuhan memberikan kebebasan kepada sekalian manusia untuk menentukan apakah ia mau beriman atau malah sebaliknya, hal ini menunjukkan bahwa manusialah yang menentukan arah hidupnya sendiri bukan Tuhan.

Terjemahnya:
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.”[25]
 (Q.S. Ali Imran [3]: 165)
Terkait ayat ini pun mereka berargumen, bahwa kekalahan kaum muslimin pada waktu peperangan Uhud itu semua diakibatkan oleh kelalaian dan kedurhakaan pasukan panah terhadap perintah Rasulullah saw., dimana mereka diperintahkan agar tidak meninggalkan tempat mereka walau apa pun yang terjadi, tapi karena tergiur akan harta rampasan perang mereka meninggalkan tempat mereka, hingga akhirnya pasukan musuh memporak-porandakan pasukan muslim pada waktu itu. hal ini pun menunjuk-kan bahwa kesalahan pada waktu itu sepenuhnya berada ditangan kaum muslimin (pasukan panah) tidak ada sangkut-pautnya dengan Tuhan.

Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”[26]
(Q.S. Ar-Ra’d [13]: 11)
Lihatlah dan perhatikan ayat ini! dimana menurut mereka. “Tuhan tidak kuasa dan bisa merubah nasib manusia kecuali kalau mereka sendiri yang merubahnya, kekuasaan Tuhan dalam soal ini tidak ada lagi, karena kekuasaan itu sudah diberikan secara penuh kepada manusia.

Terjemahnya:
“Dan barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri.”[27]
(Q.S. An-Nisa [4]: 111)
Dalam ayat ini, kata mereka, bahwa manusia sendirilah yang membuat dosanya, bukan Tuhan, kalau Tuhan yang membuat dosa hamba-Nya tentulah Ia menganiaya hamba-Nya, dan ini mustahil karena sampai kapan pun Tuhan tidak mungkin bersifat aniaya.
Demikianlah sebagian ayat yang dipakai kelompok Qadariyah sebagai dalil.
6. Perbedaan Paham Jabariyah dan Paham Qadariyah
Sebagaimana penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa memandang manusia berada dalam posisi yang sangat lemah. Perbuatan-perbuatan manusia adalah hal-hal yang harus dilakukan dan dilalui oleh manusia tanpa diperlukan mereka memainkan peran. Diakui secara tegas bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan dan ia hanya tempat berlakunya perbuatan dan ciptaan-Nya.
Sedangkan dalam paham Qadariyah ini, keyakinaan penganutnya adalah bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan dan pilihannya sepenuhnya, bukan ciptaan atau pilihan Allah. Hal ini didasarkan pada kemampuan manusia membedakan antara orang yang berbuat baik atau berbuat jelek dengan dengan orang yang baik atu jelek wajahnya. Kita memuji orang yang berbuat baik karena kebaikannya dan mencela yang berbuat jelek karena kejahatannya. Yang demikian tidak berlaku terhadap orang yang baik atau jelek wajahnya sebagaimana pula pada orang yang tinggi atau yang pendek. Terhadap orang yang tinggi atau pendek tidak dapat dikatakan kepadanya “mengapa anda tinggi” atau “mengapa anda pendek”. Terhadap orang yang berbuat Zalim atau berdusta dapat dikatakan “mengapa anda berbuat zalim” atau “mengapa anda berdusta”. Kalau sekiranya yang terakhir itu (zalim dan dusta) tidak bergantung pada kita, maka bukanlah kemestian membedakannya dengan yang lain (tinggi atau pendek). Yang bergantung pada manusia adalah perbuatannya dan diadakan olehnya.[28]
Dan dapat disimpulkan bahwa perbedaan keduanya itu, Jabariyah memandang manusia tidak merdeka dan mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa, sedangkan qadariyah itu memandang manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya
 
C. KESIMPULAN
Jabariyah adalah paham yang mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia baik itu jahat atau pun baik, semuanya berasal dari Allah. Sedangkan Qadariyah sebaliknya, paham ini mengatakan bahwa manusia manusia berkuasa atas semua tindakannya, Tuhan tidak ada sangkut-pautnya.
Jabariyah dan Qadariyah tidak hanya memprkuat paham mereka dengan berdasar pada akal, tapi mereka juga menggunakan nash-nash Al-Qur’an, sehingga mereka tidak bisa langsung dianggap sebagai aliran yang menyimpang dari Islam.
Inti dari perbedaan antara Jabariyah dan Qadariyah terletak pada kekuasaan manusia melakukan sesuatu. Jabariyah memandang manusia tidak merdeka dan mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa, sedangkan Qadariyah itu memandang manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya.
Tidak ada yang bisa disalahkan antara kelompok Jabariyah dan Qadariyah, keduanya memiliki dalil yang kuat. Pada hakekatnya manusia diberi akal dan pikiran untuk berbuat dan berusaha, sedangkan nantinya Allah lah yang menentukan hasilnya.
Aliran Jabariyah dan Qadariyah ini mempunyai dampak positif dan negatifnya masing-masing. Disatu sisi, Jabariyah membuat manusia menjadi pasif, namun juga akan membuat manusia memiliki sifat tawakkal yang tinggi. Di sisi lain, Qadariyah akan membuat manusia menjadi aktif, namun juga akan menjerumuskan manusia ke dalam kesombongan.


[1] Sahilun A. Nasir, Ilmu Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya,  Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2010, Cet.I, hal.143
[2] Sahilun A. Nasir, Ilmu Kalam (Teologi Islam)....... hal.139
[3]M.Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran-aliran dalam Islam dan Ciri-ciri Ajarannya, Jakarta: Pustaka Al Riyadl, 2006, h. 55.
[4]Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam,Bandung: Pustaka Setia, 2003, h. 63.
[6]Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986, h. 33.
[7]Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, h. 70.
[8]As-Syahrastānī,  Al-Milal wa Al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Islam. Terjemahan Muslim Sects and Divisions, Bandung: Mizan, 2004, h. 137.
              [9] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, h. 67.
             [10] As-Syahrastānī, Sekte-sekte Islam, Terjemahan, Bandung: Penerbit Pustaka, 2004, h. 105.
             [11]As-Syahrastānī, Al Milal wa Al Nihal, Terjemahan Asywadie Syukur, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2006, h. 72.
              [12]As-Syahrastānī, Sekte-sekte, h, 106.
             [13]Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam.
              [14]As-Syahrastānī, Al-Milal, h. 140.
               [15] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, h. 68.
               [16] Ibid., h. 69.
              [17] As-Syahrastānī, Al-Milal, h. 143.
              [18] Harun Nasution, Teologi Islam.
              [19] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, h. 73.
              [20]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2000, h. 113.
             [21]Ibid., h. 359.
              [22] Ibid., h. 142.
              [23] Ibid., h. 463.
              [24] Ibid., h. 237.
              [25] Ibid., h. 156.
              [26] Ibid., h. 199.
               [27] Ibid., h. 111.
              [28] http://success-bersihjasmanidanrohani.blogspot.com/2010/05/paham-jabariyah.htm (online10 November 2013).

1 komentar:

  1. Slots | Casinos | Casino | Free Coins | No Deposit Bonus
    Slot games are made for fun titanium tubing and 룰렛 돌리기 exciting bet365 fun. We also offer casino 유로 스타 사이트 games with free bonuses, free spins, scratch cards and 1xbet korean more.

    BalasHapus