Pages - Menu

Minggu, 28 Desember 2014

PROFIL DAN KARAKTERISTIK PONDOK PESANTREN, MADRASAH DINIYYAH (MADIN) DAN MAJLIS TAKLIM



BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan tugas dan tanggung jawab bersama yang dilaksanakan secara sadar baik dari pihak pendidik maupun pihak terdidik. Kesadaran dalam melaksanakan pendidikan adalah dimaksudkan untuk mencapai kedewasaan dan kematangan berfikir yang dapat diusahakan melalui beberapa proses pendidikan, yaitu proses pendidikan formal, informal, dan nonformal. Pendidikan memegang peranan penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia.[1]
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren memiliki ciri-ciri unik yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga pendidikan lain. Sejak tahun 1980 an pertumbuhan lembaga lembaga pendidikan Islam Luar Sekolah yaitu pendidikan yang dikelola oleh masyarakat di luar jalur pendidikan sekolah tampak cukup pesat, terutama di kota-kota besar. Fenomena ini ditandai dengan munculnya Taman Pendidikan  Al Qur’an ( TPA ),  Taman Kanak-Kanak  Al Qur’an  ( TKA ) , Madrasah Diniyah, Majlis Ta’lim, dan bentuk-bentuk pengajian keagamaan lainnya. Bentuk-bentuk pendidikan demikian terlihat sepintas menggantikan model pengajian Al Qur’an di masjid atau langgar yang pernah ada sebelumnya , tapi mengalami perubahan baik bentuk maupun isinya.
Pada makalah ini akan di bahas mengenai profil dan karakteristik Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah, dan Majlis Ta’lim.





BAB II
PEMBAHASAN
A.      Profil dan Karakteristik Pondok Pesantren
1.      Profil Pondok Pesantren
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren memiliki ciri-ciri unik yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga pendidikan lain. Secara sosiologis munculnya pesantren merupakan hasil dari rekayasa individual yang berkompeten untuk menularkan ajaran Islam dan secara ekonomis (biasanya) mapan, sehingga wajar jika pekembangan pesantren sangat diwarnai oleh tokoh (sebut kyai) yang mengasuhnya. Secara tradisional, pesantren memiliki masjid, pondokan, santri, kyai, dan pengajian tradisional. Pesantren kemudian berkembang pesat dengan diversifikasi program dan ilmu yang ditawarkan kepada masyarakat. Pesantren modern pada umumnya telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana educational dan non educational yang sangat modern juga.  Secara umum, hubungan cultural dan emotional antara kyai dan santri sangat erat. Para santri menganggap kyai sebagai sentral figur sehingga mereka mentaati segala petuah dan nasihatnya, bahkan ketaatan semacam ini menjadi doktrin di pesantren.[2]
Pada mulanya, pendidikan pesantren bertujuan untuk mencetak ustaz, kyai muda, dan ulama: mereka yang memiliki ilmu agama yang mumpuni. Namun dalam perkembangannya pesantren melakukan adaptasi dengan sistem pendidikan modern dengan dual kurikulum: agama dan non agama, tujuannya mencetak ilmuan agamis atau kyai intelektual. Dengan kurikulum yang beragam, guru juga beragam kualifikasinya.[3]
2.      Karakteristik Pondok Pesantren
Secara umum pondok pesantren mempunyai cirri khas atau karakteristik tertentu, diantara nya ialah:
a.       Dipimpin oleh seorang kiayi
b.      Terdapat pondok atau asrama tempat santri menginap
c.       Terdapat musholla ataupun mesjid di dalam lingkunganpondok pesantren tersebut
d.      Mengajarkan kitab kuning sebagai pelajaran utama.
Ciri kurikulum pesantren itu menduduki penguasaan sumber ajaran yang ilahi bersumber  dari Allah SWT) menjadi peragaan individu untuk disemaikan ke dalam hidup bermasyarakat. Selain mengenal ranah kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotor (perilaku) dalam pengajarannya, sejak lama pesantren mendasarkan diri pada tiga ranah utama; yaitu Faqahah (kecukupan atau kedalam pemahaman agama), Thabi’ah (perangai, watak, atau karakter), dan Kafaah (kecakapan oprasional). Jika pendidikan merupakan upaya perubahan, maka yang berubah dan diubah adalah ketiga ranah itu, tentu saja perubahan ke arah yang lebih kuat.[4]
Pendidikan pesantren dikelompokkan ke dalam dua paradigma tarbiyah: yaitu tarbiyah ta’limiyah dan tarbiyah sulukiyah.
a.       Tarbiyah ta’limiyah merupakan usaha dan terancana untuk merawat dan mengembangkan potensi warga belajar sejak tahap “benih” sampai tahap “berubah” secara kesinambungan dan sistemik yang mendasarkan pada penguasaan tanda-tanda normatif, teks, dan dalil.
b.      Tarbiyah sulikiyah merupakan usaha sadar dan terancana untuk merawat dan mengembangkan potensi warga belajar sejak tahap “benih” sampai tahap “berubah” secara kesinambungan dan sistemik yang mendasarkan pada penguasaan kecakapan bertindak dengan memperhatikan sekaligus tanda-tanda qauliyah (terucapkan/tekstual) dan kauniyah (terwujud/faktual) sehingga warga belajar dapat mendefinisikan diri dan lingkungan untuk mewujudkan kenyataan hidup yang lebih baik.[5]
B.       Profil dan Karateristik Madrasah Diniyyah (MADIN)
1.      Profil Madrasah Diniyyah (MADIN)
Madrasah Diniyah adalah satuan pendidikan keagamaan Islma nonformal yang menyelenggarakan pendidikan agama Islam sebagai pelengkap bagi siswa pendidikan umum. Untuk tingkat dasar (Diniyyah Takmiliyah Awliyah) dengan masa belajar 4 tahun dari kelas satu sampai kelas empat. Untuk tingkat menengah pertama (Diniyyah Takmiliyah Wustha) dengan masa belajar 2 tahun dari kelas satu sampai kelas dua.  Untuk menengah atas (Diniyyah Takmiliyah Ulya) dengan masa belajar 2 tahun dari kelas satu sampai kelas dua, dengan jumlah jam belajar minimal 18 jam pelajaran dalam seminggu.[6]
2.      Karateristik Madrasah Diniyyah (MADIN)
Madrasah Diniyah memiliki beberapa ciri atau karakteristik, diantaranya adalah:
a.       Memiliki jumlah jam pelajaran yang lebih sedikit dari pada jumlah pelajaran di pendidikan formal perminggu nya. Yaitu 18 jam perminggu minimalnya.
b.      Mata pelajaran yang di ajarkan semua mengenai agama Islam. Untuk Tingkat dasar dan Menengah (Awaliyah dan Wushta) berjumlah 9 mata pelajaran yang terdiri dari Qur’an, Hadits, Termjemah-Tafsir, Tajwid, Aqidah Akhlak, Fiqh – Ibadah, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, dan Praktek Ibadah. Sementara untuk Tingkat Atas (Ulya) mata pelajaran yang diajarkan adalah Tafsir-ilmu Tafsir, Hadits-Ilmu Hadits, Akhlak, Ilmu Tauhid, Fiqh, Ushul Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, dan Praktek Ibadah.[7]
c.       Di selenggarakan pada waktu sore hari karena sebagai pelengkap pendidikan agama islam bagi siswa di pendidikan Umum.
Secara umum, setidaknya sudah ada beberapa jenis pendidikan diniyah di bumi nusantara ini. Pertama, Pendidikan Diniyah Takmiliyah (suplemen) yang berada di tengah masyarakat dan tidak berada dalam lingkaran pengaruh pondok pesantren. Pendidikan diniyah jenis ini betul-betul merupakan kreasi dan swadaya masyarakat, yang diperuntukkan bagi anak-anak yang menginginkan pengetahuan agama di luar jalur sekolah formal. Sebagai contoh, Madrasah Diniyyah An-nur  yang berada di Kabupaten Kapuas. Madrasah ini tidak berada dalam lingkaran Pondok Pesantren tetapi di bangun oleh masyarakat setempat dengan tujuan agar anak-anak mereka mendapatkan pengetahuan agama yang lebih.
Kedua, pendidikan diniyah yang berada dalam lingkaran pondok pesantren tertentu, dan bahkan menjadi urat nadi kegiatan pondok pesantren. Contohnya Madrasah Diniyyah di Pondok Pesantren Darussalam Martapura, Provinsi Kalimantan Selatan.
Ketiga, pendidikan diniyah yang diselenggarakan di luar pondok pesantren tapi diselenggarakan secara formal di pagi hari, sebagaimana layaknya sekolah formal. Sebagai contoh Madrasah Diniyyah Nurul Hidayah di Jalan Trans Kalimantan km 9 kec. Kapuas Timur Kabupaten Kapuas. Madin disini diselenggarakan secara formal setiap pagi, dan diajarkan beberapa mata pelajaran umum yang di ujikan dalam UN. Sehingga ketika mereka berada ditingkat akhir, pihak Madrasah mengikutkan para santri nya dalam ujian Paket A, B, atau pun C.

C.      Profil dan Karakteristik Majlis Taklim
1.      Profil Majlis Taklim
Dalam bahasa Arab kata majlis (                 ) adalah bentuk isim makan ( kata tempat ) kata kerja dari                    yang artinya “ tempat duduk, tempat sidang, dewan.[8] Kata ta’lim dalam bahasa Arab merupakan masdar dari kata (              ) yang memiliki arti pengajaran.
Dalam    Kamus    Bahasa      Indonesia pengertian majlis adalah   Lembaga ( Organisasi) sebagai wadah pengajian dan kata Majlis dalam kalangan ulama’ adalah lembaga masyarakat non pemerintah yang terdiri atas para ulama’ Islam.[9]
Majlis Ta’lim sebagai salah satu bentuk pendidikan Islam yang bersifat Nonformal , tampak memiliki kekhasan tersendiri. Dari segi nama jelas kurang lazim dikalangan masyarakat Islam Indonesia bahkan sampai di negeri Arab nama itu tidak dikenal, meskipun akhir – aklhir ini Majlis Ta’lim Sudah berkembang pesat. Juga merupakan kekhasan dari Majlis Ta’lim adalah tidak terikat pada faham dan  organisasi keagamaan  yang sudah tumbuh dan berkembang.  Sehingga menyerupai kumpulan pengajian yang diselenggarakan atas dasar kebutuhan untuk memahami Islam disela – sela kesiobukan bekerja dan bentuk – bentuk aktivitas lainnya atau sebagai pengisi waktu bagi  Ibu – ibu rumah tangga.
Setelah kita tahu tentang pengertian Majlis Ta’lim sebagai lembaga non formal yang mempunyai kedudukan dan fungsi  sebagai alat dan sekaligus sebagai media pembinaan dalam beragama ( da’wah Islamiyah ), hal ini dapat dirumuskan fungsi Majlis Ta’lim sebagai berikut:
a.       Membina dan mengembangkan ajaran Islam dalam rangka membentuk masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT.
b.      Sebagai taman rekreasi rohaniyah karena penyelenggaraanya bersifat santai.
c.       Sebagai ajang berlangsungnya silaturrohnmi masa yang dapat menghidupsuburkan da’wah dan ukhuwah Islamiyah. 
d.      Sebagai sarana dialog berkesinambungan antara ulama’ dan umara’ dengan umat.
e.       Sebagai media penyampaian gagasan yang bermanfaat bagi pembangunan umat dan bangsa pada umumnya.[10]

2.      Karakteristik Majlis Taklim
Majlis Taklim sebagai lembaga nonformal memiliki karakteristik sebagai berikut :
a.       Sebagai lembaga non formal maka kegiatannya dilaksanakan dilembaga-lembaga khusus, seperti masjid, mushola, atau rumah-rumah bahkan sampai ke hotel-hotel.
b.      Tidak ada atura kelembagaan yang ketat sehingga sifatnya sukarela. Tidak ada kurikulum, yang materinya adalah segala aspek yang  berkenaan dengan agama.
c.       Bertujuan mengkaji, mendalami dan mengamalkan ajaran islam.
d.      Anatar ustadz sebagai pemberi materi dengan jamaah yang menerima materi berkomunikasi langsung.[11]














BAB III
SIMPULAN
-          Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.
-          Madrasah Diniyah adalah satuan pendidikan keagamaan Islma nonformal yang menyelenggarakan pendidikan agama Islam sebagai pelengkap bagi siswa pendidikan umum.
-          Untuk tingkat dasar (Diniyyah Takmiliyah Awliyah) dengan masa belajar 4 tahun dari kelas satu sampai kelas empat. Untuk tingkat menengah pertama (Diniyyah Takmiliyah Wustha) dengan masa belajar 2 tahun dari kelas satu sampai kelas dua.  Untuk menengah atas (Diniyyah Takmiliyah Ulya) dengan masa belajar 2 tahun dari kelas satu sampai kelas dua.
-          Karakteristik Madrasah Diniyah ada 3, yaitu : memiliki jam pelajaran yang lebih sedikit, mata pelajaran yang diajarakan semua tentang agama Islam, dan diselenggerakan pada sore hari.
-          Dalam    Kamus    Bahasa      Indonesia pengertian majlis adalah   Lembaga ( Organisasi) sebagai wadah pengajian dan kata Majlis dalam kalangan ulama’ adalah lembaga masyarakat non pemerintah yang terdiri atas para ulama’ Islam.
-          Fungsi Majlis Ta’lim diantaranya, Membina dan mengembangkan ajaran Islam dalam rangka membentuk masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, Sebagai taman rekreasi rohaniyah karena penyelenggaraanya bersifat santai, Sebagai ajang berlangsungnya silaturrohnmi masa yang dapat menghidupsuburkan da’wah dan ukhuwah Islamiyah, Sebagai sarana dialog berkesinambungan antara ulama’ dan umara’ dengan umat, Sebagai media penyampaian gagasan yang bermanfaat bagi pembangunan umat dan bangsa pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
A.      Buku
Aminatul Zahroh, Total Quality Management Teori dan Praktik Manajemen Untuk Mendongkrak Mutu Pendidikan, (Yogyakarta:  Ar-Ruzz Media, 2013).
Adib Ibrahim ad-Dabbagh, Et al. At-Tarbiyah as-Sulukiyah “inda Badi az-Zaman Sa’id an-Nursi, (Istambul: Soz Li ath-Thiba’ah wan an-Nasyr, 2004).
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1967).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008).
Departemen Agama, Pedoman Penyelenggaraan Diniyyah Takmiliyah, (Jakarta: Direktorat Madin, 2007).
Dian Nafi’, Sekilas Kurikulum Pondok Pesantren Al-Muayyad, Windan, Makanhaji, Kartasuara, Sukoharjo,  (Jawa Tengah, 1996).
Enung K Rukiati dan Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,( Bandung : Pustaka Setia , 2006 ).
Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung, 1996).

B.       Website
http://www.gempurbojonegoro.or.id/2014/01/tess.html


[1]Aminatul Zahroh, Total Quality Management Teori dan Praktik Manajemen Untuk Mendongkrak Mutu Pendidikan, (Yogyakarta:  Ar-Ruzz Media, 2013), h. 17.
[2]M. Dian Nafi’, dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara, cet 1, 2007), h.9. 
[3]http://www.gempurbojonegoro.or.id/2014/01/tess.html, Taggal 14 Oktober 2014, Pukul 11:45.
[4]M. Dian Nafi’, Sekilas Kurikulum Pondok Pesantren Al-Muayyad, Windan, Makanhaji, Kartasuara, Sukoharjo,  (Jawa Tengah, 1996), h. 19.
[5]Adib Ibrahim ad-Dabbagh, Et al. At-Tarbiyah as-Sulukiyah “inda Badi az-Zaman Sa’id an-Nursi, (Istambul: Soz Li ath-Thiba’ah wan an-Nasyr, 2004), h, 213.
[6]Departemen Agama, Pedoman Penyelenggaraan Diniyyah Takmiliyah, (Jakarta: Direktorat Madin, 2007), h. 5.
[7]Departemen Agama, Pedoman Penyelenggaraan Diniyyah Takmiliyah, (Jakarta: Direktorat Madin, 2007), h. 17.
[8]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1967), h.202.
[9]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 85.
[10]Enung K Rukiati dan Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,( Bandung : Pustaka Setia , 2006 ), h. 134.
[11]Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung, 1996), h. 204.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar