Pages - Menu

Minggu, 28 Desember 2014

MAJAZI (TASYBIH, ISTIARAH, DAN KINAYAH)



A. PENDAHULUAN
Alquran bukan kitab sastra dan bukan pula hasil karya atau renungan para sastrawan, melainkan sebuah kitab suci yang bertujuan membimbing umat ke jalan yang benar agar mereka hidup dengan selamat dari dunia sampai akhirat. Namun para ahli sejak dulu sampai sekarang, baik dari golongan muslim, maupun non muslim, mengakui bahwa Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad lebih seribu empat ratus tahun yang lalu itu, berisi ayat-ayat yang diungkapkan dalam bahasa arab yang sangat tinggi dengan gaya sastra yang menakjubkan sehingga tak seorang pun dapat menandinginya sampai sekarang, sebagaimana yang telah diuraikan.
Berdasarkan kenyataan yang demikian, maka untuk memahami Alquran dengan baik diperlukan penguasaan ilmu balaghah atau dalam bahasa indonesia disebut ilmu susastra atau kesusastraan.
Dari berbagai literatur dapat disimpulkan bahwa ilmu balaghan membahas kaidah-kaidah yang berhubungan dengan kalam arab, khususnya berkenaan dengan pembentukan kalimat dan gaya bahasa dalam erkomunikasi.[1]
Dalam ilmu balaghah tersebut ada istilah-istilah seperti majazi, tasybih, istiarah, dan kinayah. Maka dalam makalah ini akan sedikit membahas tentang pengertian majazi, tasybih, istiarah, dan kinayah beserta contohnya berupa ayat-ayat dalam Alquran yang berkenaan dengan istilah tersebut.

B. PEMBAHASAN
1. Majazi
Bentuk majaz dalam al-Quran, dari bentuk denotatif (haqiqah) ke bentuk metafora (majaz). Menurut Abd al-Qahir al-Jurjani (471 H) majaz adalah kebalikan haqiqah. Sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain disebut dengan haqiqah. Sedangkan majaz adalah sebaliknya, yaitu perpindahan makna dasar ke makna lainnya, atau pelebaran medan makna dari makna dasar karena ada alasan tertentu. Secara teoritik, majaz adalah peralihan makna dari yang leksikal menuju yang literer, atau dari yang denotatif menuju yang konotatif karena ada alasan-alasan tertentu.[2]
a.    Definisi Majaz
Majaz secara etimologis berasal dari kata bahasa Arab المجاز, bentuk masdar (infinitif) dari kata جاز.[3] Sedangkan secara terminologis para ulama telah banyak mendefinisikannya dengan beberapa ibarah atau perkataan, diantaranya :[4]
1)      Ibn Qutaibah mendefinisikannya sebagai bentuk gaya tutur, atau seni bertutur.
2)      Sibawayh mendefinisakannya dengan seni bertutur yang memungkinkan terjadinya perluasan makna.
3)      Al-Mubarrad mengatakan bahwa majaz merupakan seni bertutur dan berfungsi untuk mengalihkan makna dasar yang sebenarnya.
4)      Al-Qaadhy ‘Abd al-Jabbaar mengatakan bahwa majaz adalah peralihan makna dari makna dasar atau leksikal ke makna lainnya, yang lebih luas.
5)      Ibn Jinny dan Al-Jurjaany menempatkan majaz sebagai lawan dari haqiqat, dan makna haqiqat menurut Ibnu Jinny adalah makna dari setiap kata yang asli, sedangkan majaz adalah sebaliknya, yaitu setiap kata yang maknanya beralih kepada makna lainnya. Sedangkan menurut Al-Jurjaany haqiqah adalah sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain disebut, sedangkan majaz adalah peralihkan makna dasar ke makna lainnya, karena alasan tertentu, atau pelebaran medan makna dari makna dasarnya.
b. Macam-Macam Majaz
1)   Majaz Fi Al-Mufrad
Majaz fi al-murad adalah majaz yang menggunakan lafadz bukan pada permulaan asal peletakannya. Macam ini disebut juga majaz al-lughawi, dan ia terbagi ke dalam beberapa macam :[5]
a)      Al-hadzfu atau an-naqsu, yaitu majaz yang menitikberatkan pada adanya lafadz yang tersembunyi.
 Contohnya dalam surat Yusuf: 82

وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا
Artinya: "Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu".

Di dalam ayat ini tersimpan lafadz yang tersembunyi sebelum lafadz  القرية (negri), yaitu    lafadz أهل (penduduk).
b)      Az-Ziyaadah,yaitu majaz yang menitikberatkan pada adanya lafadz atau hurup tambahan.
Contohnya dalam surat Asy-Syuuraa: 11

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Artinya: "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia"
Sebagian ulama mengatakan bahwa hurup ك di depan lafadz مثله secara makna muradnya merupakan tambahan.
c)      Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz plural (jama')  namun yang dimaksudkan adalah sebagian saja.
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 19:
يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ
Artinya: "Mereka menyumbat telinganya dengan (anak) jarinya".
Kata أصابع di atas secara leksikal atau makna yang sebenarnya adalah jari-jari. Kiranya mustahil bagi orang-orang munafik Mekkah menyumbat telinganya dengan semua jari karena takut bunyi guntur yang mematikan. Tetapi yang dimaksud أصابع dalam ayat tersebut adalah sebagian dari jari-jari, bukan semuanya.
d)     Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz yang merupakan bagian dari suatu nama benda, namun yang dimaksudkan adalah keseluruhannya; bukan sebagiannya.
Contohnya dalam surat Ar-Rahman: 27

وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ
Artinya: "Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu".
Lafadz وجه (Wajah) di dalam ayat ini merupakan bagian dari ذات (Dzat) Tuhan, namun di dalam ayat tersebut tidak di ambil makna وجه tetapi dimaknai ذات (Dzat).
e)      Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz khas (khusus), namun yang dimaksudkan adalah 'aam (makna umumnya).
Contohnya dalam surat Al-Munafiqun: 4

هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ
Artinya:"Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka".
Lafadz العدو (musuh) di dalam ayat tesebut maksudnya adalah الأعداء (semua musuh).
f)       Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz 'aam (umum), namun yang dimaksudkan adalah khas (makna khususnya).
Contohnya dalam surat Asy-Syuuraa: 5

وَيَسْتَغْفِرُونَ لِمَنْ فِي الْأَرْضِ
Artinya: "Dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi".

Lafadz من (orang) di dalam ayat tersebut di maksudkan khusus bagi المؤمنون (orang-orang yang beriman.
g)      Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-'malzuum (yang diharuskan), namun yang dimaksudkan adalah al-laazim (yang mengharuskan).
Contohnya dalam surat Al-An'am: 39

صُمٌّ وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ
Artinya: "Pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita".
Kalimat في الظلمات (dalam kegelapan) di dalam ayat tersebut -secara majaz- dari segi asalnya adalah lafadz عمي (buta), karena di dalam ayat lain di sebutkan: صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ, maka penyebutan في الظلمات di dalam ayat tersebut dikarenakan kalimat tersebut termasuk dari keharusan orang yang buta, artinya mata orang yang buta pasti merasakan gelap gulita.
h)      Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-laazim (yang mengharuskan), namun yang dimaksudkan adalah al-'malzuum (yang diharuskan).
Contohnya dalam surat Al-Maaidah: 112

هَلْ يَسْتَطِيعُ رَبُّكَ أَنْ يُنَزِّلَ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ
Artinya: "Sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?"
Lafadz يستطيع (sanggup/bisa) di dalam ayat tersebut -secara majaz- dari segi asalnya adalah lafadz يفعل (melakukan), hal ini dikarenakan kesanggupan mengharuskan untuk melakukan.
i)        Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-musabbab (akibat), namun yang dimaksudkan adalah as-sabab (sebab).
Contohnya dalam surat Al-Mu'min: 13

وَيُنَزِّلُ لَكُمْ مِنَ السَّمَاءِ رِزْقاً
Artinya: "Dan menurunkan untukmu rezki dari langit".
Lafadz رزقا (rizki) di dalam ayat ini merupakan akibat dari turunnya مطر (hujan)
j)        Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz as-sabab (sebab), namun yang dimaksudkan adalah al-musabbab (akibat).
                         Contohnya dalam surat Al-Baqarah:

فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
Artinya: "Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu".

Lafadz اعتدوا makna asalnya adalah "Lakukanlah kezaliman" Makna ini tidak bisa dipakaikan karena bertentangan dengan ajaran Islam, yang melarang dari berbuat zalim. Jika kita artikan dengan makna majaz, bisa dipahami bahwa kata اعتدوا merupakan sebab dari makna yang dimaksud, karena kezaliman merupakan penyebab adanya جزاء (balasan). Jadi makna dari اعتدو  adalah "Balaslah".
k)      Menamakan sesuatu dengan nama yang biasa disebutkan setelah ia mengalami proses tertentu.
Contohnya dalam surat Yusuf: 36

إِنِّي أَرَانِي أَعْصِرُ خَمْراً
Artinya: "Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku memeras anggur".
Lafadz خمر (arak) yang di sebutkan di dalam ayat ini adalah nama minuman yang di buat dari perasan عنب (anggur).
l)        Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-hal (keadaan), namun maksudnya adalah al-mahal (tempat) yang keadaannya seperti yang di ungkapkan tersebut).
Contohnya dalam surat Ali Imron: 107

فَفِي رَحْمَةِ اللَّهِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya: "Maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya".
Lafadz رحمة الله (rahmat Allah) di dalam ayat ini, maksudnya adalah الجنة (surga), hal ini karena keadaan surga penuh dengan rahmat Allah.
m)    Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-mahal (tempat), namun maksudnya adalah al-hal (keadaannya).
Contohnya dalam surat Al-'Alaq: 17

فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ
Artinya: "Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya)".
Lafadz نادية adalah nama suatu tempat, dan yang di maksudkan di dalam ayat ini adalah penduduk yang mendiami tempat tersebut.
Menamakan sesuatu dengan nama alatnya.
Contohnya dalam surat Ibrahim: 4

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ
Artinya: "Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya".

Lafadz لسان (lisan) di dalam ayat ini merupakan alat untuk melafalkan bahasa, oleh karena itu lafadz tersebut di maknai secara majaz, yaitu bahasa.
n)      Menamakan sesuatu dengan nama kebalikannya atau mengungkapkan suatu lafadz yang biasa di gunakan untuk sesuatu kebalikannya.
Contohnya dalam surat Al-Insyiqaaq: 24

فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya: "Maka beri kabar gembiralah mereka dengan azab yang pedih".
Lafadz بشّر di dalam ayat ini biasanya di gunakan untuk الخبر السار (kabar/berita yang menyenangkan/menggembirakan), namun di dalam ayat tersebut di gunakan untuk kabar berita yang tidak menyenangkan sekali, yaitu عذاب أليم (azab yang pedih).
o)      Mengidhafahkan atau menghubungkan fi'il (kata kerja) kepada sesuatu yang tidak biasanya di hubungkan dengannya.
Contohnya dalam surat Al-Kahfi: 77

فَوَجَدَا فِيهَا جِدَاراً يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ
Artinya: "Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka (Khidhr) menegakkan dinding itu".
Fi'il يريد (ingin) di dalam ayat ini biasanya di hubungkan dengan الحي (makhluk hidup), sedangkan di dalam ayat ini di hubungkan dengan lafadz جدار (dinding).
p)      Menyampaikan ungkapan tentang sesuatu dengan fi'il (kata kerja), namun maksudnya adalah dari segi kedekatan makna fi'il tersebut terhadapnya atau dari segi kemulyaannya atau keinginannya.
Contohnya dalam surat An-Nahl: 61 dan Al-Maaidah: 6

َإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Artinya: "Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya".
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا
Artinya: "Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah.."
Fi"il جاء (telah tiba) yang di kaitkan dengan lafadz أجل (saat kematian) di dalam ayat pertama maksudnya قرب مجيئه (mendekati tibanya saat kematian). Dan fi'il قمتم (kalian mengerjakan) yang di hubungkan dengan lafadz الصلاة (shalat) di dalam ayat kedua maksudnya أردتم القيام (kalian ingin mengerjakan).
q)      Menempatkan dua lafadz secara terbalik.
Contohnya dalam surat Ar-Ru'd: 38

لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
Artinya: "Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)".
Lafadz كتاب (kitab) seyogyanya di dahulukan dan lafadz أجل (masa akhir) di akhirkan, yakni لكل كتاب أجل (bagi tiap-tiap kitab ada masa akhirnya).
r)       Menempatkan suatu shighah (bentuk suatu lafadz) pada kedudukan shighah lain.
Contohnya dalam surat Al-Baqarah: 255

وَلا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ
Artinya: "Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah".
Lafadz علم (ilmu) di dalam ayat ini bershighah مصدر (kata dasar), sedangkan yang seyogyanya adalah shighah المفعول (kata kerja transitif) dari lafadz tersebut, yakni: معلوم (yang di ketahui), sehingga seyogyanya ayat tersebut bermakna: "Dan mereka tidak mengetahui apa-apa yang diketahui oleh Allah".
s) Menamakan sesuatu dengan nama yang biasa disebutkan sebelumnya.
Contohnya dalam surat Thaahaa: 74

مَنْ يَأْتِ رَبَّهُ مُجْرِماً فَإِنَّ لَهُ جَهَنَّمَ
Artinya: "Barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam".
Di dalam ayat ini orang yang datang kepada Tuhannya pada hari kiamat di namai مجرم (penjahat), hal itu di sesuaikan dengan keadaan dia sewaktu melakukan kejahata/dosa di dunia ini.
2). Majaz Fi At-Tarkiib
Majaz fi at-tarkiib adalah majaz yang menyandarkan suatu perbuatan atau kesangsian kepada sesuatu yang tidak memiliki originalitas, dikarenakan adanya hubungan keterkaitan antara keduanya. Majaz ini di sebut juga majaz al-aql dan majaz al-isnaad.[6]
Contohnya dalam surat Al-Anfaal: 2
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً
Artinya: "Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya)".
Di dalam ayat ini terdapat suatu perbuatan Allah, yaitu الزيادة (penambahan), yang di sandarkan kepada الآيات (ayat-ayat), hal ini karena dengan dibacakannya ayat-ayat tersebut menjadi sebab bertambahnya keimanan mereka.
  Majaz ini terbagi ke dalam empat macam, yaitu sbb:
a)      Penyandaran yang kedua sisnya adalah haqiqat (makna asli).
Contohnya dalam surat Az-Zalzalah: 2

وَأَخْرَجَتِ الأَرْضُ أَثْقَالَهَا
Artinya: "Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung) nya".
Penggunaan lafadz أخرج (telah mengeluarkan) dan الأرض (bumi) di dalam ayat ini adalah secara haqiqat.
b)      Penyandaran yang kedua sisnya adalah majaz.
Contohnya dalam surat Al-Baqarah: 16

فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ
Artinya: "Maka tidaklah beruntung perniagaan mereka".
Penggunaan lafadz ربح (beruntung) dan تجارة (perniagaan) di dalam ayat ini adalah secara majaz.
c)      Penyandaran yang sisi pertamanya haqiqat dan sisi lainya majaz.
Contohnya dalam surat Ar-Ruum: 35

أَمْ أَنْزَلْنَا عَلَيْهِمْ سُلْطَاناً
Artinya: "Atau pernahkah Kami menurunkan kepada mereka keterangan".
Penggunaan lafadz أنزل (telah menurunkan) di dalam ayat ini adalah secara haqiqat, sedangkan penggunaan lafadz سلطان (kekuasaan) adalah secara majaz sehingga ia di maknai برهان (dalil/keterangan).
d)     Penyandaran yang sisi pertamany majaz dan sisi lainya haqiqat.
Contohnya dalam surat Al-Ma'aarij: 15-17

كَلَّا إِنَّهَا لَظَى.  نَزَّاعَةً لِلشَّوَى.  تَدْعُو مَنْ أَدْبَرَ وَتَوَلَّى
Artinya: "Sekali-kali tidak dapat, sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergolak, yang mengelupas kulit kepala, yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama)".
Penggunaan lafadz تدعو (memanggil) di dalam ayat ini adalah secara majaz karena di sandarkan kepada lafadz النار (api neraka).

d.   Faedah-faedah Majaz
Diantara faedah-faedah penggunaan majaz adalah sebagai berikut :[7]
1)      Al-iijaz yakni memperingkas suatu kalimat atau ungkapan.
2)      Memperluas lafadz, dimana seandainya suatu lafadz tidak dimajazkan maka setiap makna hanya memiliki satu komposisi.
3)      Menampilkan suatu makna dalam suatu gambaran yang dalam dan dekat kepada akal fikiran.
2. Tasybih
a)      Pengertian Tasybih
Tasybih adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain karena memiliki kesamaan sifat di antara kedua hal tersebut, dengan menggunakan adat (alat) tasybih, baik disebutkan maupun tidak.[8]
b)      Rukun-rukun Tasybih
Adapun rukun-rukun Tasybih adalah sebagai berikut :
1)      Musyabbah (sesuatu yang hendak diserupakan)
2)      Musyabbah bih (sesuatu yang diserupai)
3)      Wajhus syibhi (sifat yang terdapat pada kedua hal itu)
4)      Adaatut tasybih (huruf/kata yang menyatakan penyerupaan)
5)      Musyabbah dan musyabbah bih disebut juga tharafait tasybih.
c)      Pembagian Tasybih
1).      Tasybih mursal
Tasybih mursal adalah tasybih yang adat tasybihnya disebutkan.
2).      Tasybih muakkad
Tasybih muakkad adalah tasbih yang adat tasybihnya tidak disebutkan
3).      Tasybih mujmal
Tasybih mujmal adalah tasybih yang tidak disebutkan wajh syibhnya

4).      Tasybih mufashal
Tasybih mufashal adalah tasybih yang disebutkan wajah syibhnya
5.      Tasybih baligh
Tasybih baligh tasybih yang tidak disebutkan wajah syibh dan adat tasybihnya.
d. Maksud dan Tujuan Tasybih
1).           Menjelaskan kemungkinan terjadinya sesuatu pada musyabbah
2).            Menjelaskan keadaan musyabbah
3).            Menjelaskan kadar keadaan musyabbah
4).            Menegaskan keadaan musyabbah
5).            Memperindah atau memperburuk musyabbah
3. Isti’aroh
Isti’aroh adalah tasybih yang dibuang salah satu tharaifnya (musyabbah/musyabbah bih). Sehingga, hubungan antara makna hakiki dan makna majazi selalu musyabahah (saling menyerupai).[9]
Adapun macam-macam isti’aroh sebagai berikut:
a)      Isti’aroh Tashrihiyyah, yaitu isti’aroh yang dibuang musyabbahnya.
b)      Isti’aroh Makniyyah, yaitu isti’aroh yang dibuang musyabbah bihnya
c)      Isti’aroh Ashliyyah, yaitu isti’aroh yang menggunakan isim jamid.
d)     Isti’aroh Tabaiyyah, adalah isti’aroh yang menggunakan lafadz isim fi’il.
e)      Isti’aroh Murasyahah, adalah isti’aroh yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih.
f)       Isti’aroh Mujarrodah, adalah Isti’aroh yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah.
g)      Isti’aroh Muthlaqoh, adalah isti’aroh yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih atau musyabbah.
h)      Isti’aroh Tamtsiliyyah, adalah suatu susunan kalimat yang digunakan bukan pada makna aslinya karena ada hubungan keserupaan antara makna asli dan makna majazi, dengan disertai karinah yang mencegah peletakkan pada makna asli.
4. Kinayah
a.       Definisi Kinayah
Kinayah secara etimologis berasal dari kata bahasa arab الكناية, bentuk masdar (infinitif) dari kata كَنَى
Sedangkan secara terminologis kinayah adalah suatu lafadz yang diungkapkan dengan menitikberatkan kepada makna seharusnya beserta membolehkan penyebutan makna aslinya.[10]
b.   Sebab-sebab Kinayah
Kinayah memiliki beberapa sebab, diantaranya :[11]
1)      Peringatan akan keagungan kekuasaan Allah swt, seperti firman-Nya mengenai kinayah tentang Nabi Adam dalam surat Al-A'raf: 189:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ واحِدَةٍ
Artinya: "Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu".
2)      Kecerdasan yang berbicara, seperti firman Allah swt mengenai kinayah tentang Zaid dalam surat Al-Ahzaab: 40:

ما كانَ مُحَمَّدٌ أَبا أَحَدٍ مِنْ رِجالِكُمْ
Artinya: "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu".
3)      Meninggalkan suatu lafadz kepada lafadz yang lebih indah darinya atau menggantikannya dengan lafadz indah tersebut, seperti kinayah lafadz النعجة (kambing betina) mengenai المرأة (wanita) dalam firman Allah swt surat Shaad: 23:

إِنَّ هذا أَخِي لَهُ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ نَعْجَةً وَلِيَ نَعْجَةٌ واحِدَةٌ
Artinya: "Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja"
Menyebutkan suatu lafadz yang vulgar atau kasar di dengar, maka dikinayahkan dengan lafadz yang tidak vulgar atau tidak kasar di dengar, seperti kinayah tentang الجماع (bersenggama) dengan lafadz الملامسة (bersentuhan) sebagaimana dalam firman Allah swt surat An-Nisa: 43:

أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ
Artinya: "Atau kamu telah menyentuh perempuan".
4)      Membaguskan suatu lafadz, seperti kebiasaan orang arab mengkinayahkan حرائر النساء (pakaian sutra perempuan) dengan البيض (telur), hal ini juga sebagaimana firman Allah swt dalam surat Ash-Shaaffaat: 49:

بَيْضٌ مَكْنُونٌ
Artinya: "Telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik".
5)      Bermaksud untuk menceritakan kepandaian atau kemahiran, seperti kinayah tentang النساء (wanita) bahwa mereka dibesarkan dalam keadaan الترفه (kemewahan) dan التزيين (berhias), sebagaimana firman Allah swt dalam surat Az-Zukhruf: 18:

أَوَ مَنْ يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصامِ غَيْرُ مُبِينٍ
Artinya: "Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan".
6)      Bermaksud untuk melebih-lebihkan dalam mencaci maki, seperti lafadz الغُلُّ (terbelenggu) kinayah untuk البخل (kekikiran), sebagaimana firman Allah swt dalam surat Al-Israa: 29:

وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ
Artinya: "Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu".

7)      Peringatan terhadap ujung nasibnya, seperti ujung nasibnya Abu Lahab adalah اللهب (api yang berkobar) yakni jahannam, karena itulah Allah swt menyebut namanya denga أبو لهب (bapa api yang menyala) dalam surat Al-Masad: 1:

تَبَّتْ يَدا أَبِي لَهَبٍ
Artinya: "Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa".
8)      Bermaksud meringkas, diantaranya kinayah mengenai perbuatan-perbuatan yang beragam dengan lafadz (فعل), seperti firman Allah swt dalam surat Al-Baqarah: 24:

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا
Artinya: "Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya)".
Yakni: maka jika kamu tidak dapat mendatangkan satu surat yang seperti itu, dan pasti kamu tidak dapat mendatangkannya.
9)      Menitikberatkan kepada jumlah kalimat yang maknnya berbeda dengan makna dzahirnya, kemudian diambil kesimpulannya dengan tanpa mempertimbangkan kosakatanya dari segi haqiqat atau majaznya, sehingga diungkapkannya sesuai dengan maksudnya, seperti lafadz الاستواء (Arsy) kinayah mengenai الملك (kekuasaan) sebagaimana firman Allah dalam surat Thaahaa: 5:

الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى
Artinya: "Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy".
c.  Macam-macam Kinayah
Ulama ahli bayan membagi kinayah ke dalam tiga macam, yaitu sebagai berikut  :[12]
1)    Kinayah sifat
Kinayah sifat dapat diketahui dari adanya penyebutan mausuf (yang disifati) dalam konteks kalimat, baik itu dari lafadznya atau ucapannya maupun dari dzahirnya.
Misalnya seperti penyebutan lafadz الصديق yakni Abu bakar , الفاروق yakni Umar dan سيف الله yakni Khalid bin Walid.
Contoh dari al-Qur'an misalnya firman Allah swt yang menyebutkan sifat-sifat Rasulullah saw dalam surat Al-Ahzab: 45-46:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا.  وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُّنِيرًا
Artinya: "Wahaai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi".

2)     Kinayah mausuf (yang di sifati)
Kinayah mausuf dapat di ketahui dari adanya penyebutan sifat dalam konteks kalimat, baik itu dari segi penyebutannya secara langsung maupun dari segi pembawaannya.
Misalnya seperti penyebutan "yang mengucapkan ض" yakni orang Arab, دار السلام yakni kota Baghdad dan طيبة yakni Madinah Al-munawwarah.
Contoh dari al-Qur'an misalnya firman Allah swt mengenai kinayah tentang bahtera dalam surat Al-Qamar: 13:

وَحَمَلْنَاهُ عَلَى ذَاتِ أَلْوَاحٍ وَدُسُرٍ
Artinya: "Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku".

3)      Kinayah nisbah
Kinayah nisbah yaitu menisbatkan sesuatu kepada sesuatu yang lain, baik dengan penetapan bukti maupun penolakan atau sangkalan.
Misalnya dalam pepatah arab yang mengatakan: خير الناس من ينفع الناس (sebaik-baik manusia adalah orang yang memberi manfaat kepada sesama) terdapat kinayah mengenai penolakan adanya kebaikan di dalam diri orang yang tidak memberi manfaat kepada sesamanya.
Contoh dari al-Qur'an misalnya firman Allah swt mengenai kinayah tentang persediaan Allah swt untuk kelanggengan adanya langit dan bumi, seperti persediaan adanya daya listrik untuk kelanggengan adanya cahaya dalam lampu listrik, apabila persediaan daya listrik habis atau diputus maka tidak akan ada cahaya lampu listrik tersebut, hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat Faathir: 41:

إنّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ والأَرْضِ أَنْ تَزُولاَ
Artinya: "Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap".







C. KESIMPULAN
Al-Qur'an merupakan kalamullah yang diturunkan dengan menggunakan gaya bahasa Arab yang tinggi dan indah, yang terlihat –diantaranya- dari ungkapan-ungkapan metaforik-simboliknya (majaz) dan kiasan-kiasannya atau sindiran-sindirannya (kinayah).
Majaz identik dengan peralihkan makna dasar ke makna lainnya, karena alasan tertentu, atau pelebaran medan makna dari makna dasarnya, sedangkan kinayah identik dengan penggunaan sebuah lapadz atau kata untuk menyatakan suatu hal lain dengan menitikberatkan pada makna seharusnya karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.
Majaz dan kinayah terbagi ke dalam: majaz fi at-tarkiib dan majaz fi al-mufrad, namun dari segi pertalian atau penyesuaian antara makna asli dan makna majaznya, majaz terbagi ke dalam dua macam: majaz bi al-isti'arah dan majaz mursal. Sedangkan kinayah terbagi ke dalam tiga macam: kinayah sifat, kinayah mausuf dan kinayah nisbah.
Majaz dan kinayah tersebut sengaja diketengahkan oleh Allah swt dalam kalam-Nya dengan maksud agar menjadi perhatian manusia sekaligus melemahkan gaya bahasa arab khususnya dan bahasa lainnya pada umumnya dihadapan gaya bahasa-Nya (kalamullah), sehingga mereka tertarik dan terpengaruh olehnya, dan akhirnya mereka mengikuti apa yang di kandungnya, juga agar memberikan jembatan bagi rasio manusia yang terbatas dengan masalah-masalah ukhrawi dan hal-hal metafisik.
Dari paparan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tasybih adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain karena memiliki kesamaan sifat di antara kedua hal tersebut, dengan menyebutkan unsur-unsurnya, yaitu musyabbah, musyabbah buh, adat tasybih, dan wajh syibh.
Walaupun demikian, ada juga jenis tasybih yang tidak menyebutkan salah satu atau bahkan salah dua dari empat unsur tersebut. Tasybih akan semakin tinggi tingkatannya jika tidak menyebutkan musyabbah dan musyabbah bihnya. Tasybih ini disebut tasybih baligh. Dan sebaliknya, akan semakin rendah tingkatannya jika disebutkan seluruh unsur-unsurnya.
Isti’aroh adalah tasybih yang dibuang salah satu tharaifnya (musyabbah/musyabbah bih). Dan hubungan antara makna hakiki dan majazinya adalah musyabahah (saling melengkapi). Nilai isti’aroh dilihat dari segi lafadz dan rekayasa keindahannya. Dari segi lafadznya, tasybih dalam susunan kalimatnya terselubung/tersembunyi.






[1] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta : Pustaka Belajar , Cet.I, 2005, hlm.344.
[2] http://www.referensimakalah.com/2012/12/bentuk-majaz-dalam-al-quran.html
[3] Al-Majaaz 'Inda Al-Usuliyyin Bain Al-Mujiiziin Wa Al-Maani'iin, Abdullah As-Sudais, Al-Maktabah Asy-Syaamilah, hal. 7
[4]http://infopesantren.web.id/ppssnh.malang/cgibin/content.cgi/artikel/dialektika_gaya_bahasa_quran.single.
[5] Al-Itqan Fi 'Ulum Al-Qur'an hal. 122-128. Al-Burhan Fi 'Ulum Al-Qur'an, hal. 259-284.

[6] Al-Itqan Fi 'Ulum Al-Qur'an, hal. 120-121. Al-Burhan Fi 'Ulum Al-Qur'an,  hal. 256-258.

[7] Al-Khulaashah Fi 'Ilmu Al-Balaaghah, hal. 42
[8] http://kindhearte.blogspot.com/2013/05/makalah-balaghoh-tasybih-majaz-istiarah.html

[9] http://kindhearte.blogspot.com/2013/05/makalah-balaghoh-tasybih-majaz-istiarah.html

[10] Al-Ashlaan Fi 'Ulum Al-Qur'an, Dr. Muhammad Abdulmun'im Al-Qoi'ii, Dar Al-Mun'im Al-Qoi'ii, 1996, cet IV, hal. 314. Bughyatu Al-Iidhah Litalkhishi Al-Miftaah Fi 'Ulumi Al-Balaghah, Abdulmu'taal Ash-Sha'iidii, Maktabatu Al-Adab, 2005, hal. 369. Al-Balaghah Al-Wadhihah, Ali Al-Jaarim dan Mushthafa Amin, Al-Maktabah Asy-Syaamilah, hal. 146.
[11] Al-Mausuu'ah al-Qur'aaniyah, Ibrahim Al-Ibyaarii, Muassasah Sijil Al-Arab, 1405 H, hal. 1097. Al-Burhan Fi 'Ulum Al-Qur'an, jil. 2, hal. 301-309.
[12] Al-Khulaashah Fi 'Ilmu Al-Balaaghah, op. cit, hal. 52-53. Al-Balaaghah Al-'Arabiyyah: Asaasuha Wa 'Uluumuha Wa Funuunuha, hal. 568. Al-Balaghah Al-Wadhihah, hal. 146. Bughyatu Al-Iidhah Litalkhishi Al-Miftaah Fi 'Ulumi Al-Balaghah, , hal. 370.

1 komentar:

  1. Kenapa mutlak itiarah lebih mubalagah dari kinayah, dan siapa yang mengatakan? Mohon kasi rujukan kitab serta halamannya ya

    BalasHapus