A. PENDAHULUAN
Tidak perlu diragukan bahwa hadis merupakan
sumber ajaran Islam di samping al-Qur’an. Mengingat begitu
pentingnya hadis, maka studi atau kajian terhadap hadis akan terus dilakukan,
bukan saja oleh umat Islam, tetapi oleh siapapun yang
berkepentingan terhadapnya. Berbeda dengan ayat-ayat al-Qur’an yang
semuanya dapat diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan sebagai
acuan atau hujah. Hadis ada yang dapat dipakai ada yang
tidak. Di sinilah letak perlunya meneliti hadis. Agar dapat meneliti
hadis secara baik diperlukan antara lain pengetahuan tentang kaidah
dan atau metodenya.
Hadis
telah terkontaminasi oleh pemalsuan karena berbagai kepentingan seperti
politik, fanatik aliran dan lain-lain.[1]Pada
sisi lain, fatwa orang penting (baca : para ulama) pasca Rasulullah menjadi
rujuakan yang perlu didokumentasi. Maka pekerjaan mendokumentasi Hadis Nabi
dituntut memilah mana yang berasal dari Rasulullah dan mana yang bukan. Dokumen
atau catatan Hadis karena tidak terlepas dari keragaman daya tangkap para
periwayat, maka kualitas Hadisnya pun beragam. Maka munculnya aksi kritik Hadis
tidak dimaksudkan menguji ajaran Rasulullah, tetapi menguji daya tangkap dan
kejujuran para periwayat. Menolak Hadis bukan berarti menolak Rasulullah, tetapi
menolak klaim bahwa riwayat itu dari Rasulullah. Maka kritik Hadis memberi
kontribusi pemilahan Hadis yang berasal dari Rasulullah atau bukan.
Jika kritik sanad lazim di kenal dengan istilah krtik
ekstern(al-naqd al-khariji),maka kritik matan lazim di kenal kritik
intern (al naqd al-dakhili). Istilah ini di kaitkan dengan orientasi
kritik matan itu sendiri, yakni di fokuskan kepada teks hadits yang merupakan
intisari dari apa yang pernah di sabdakan Rasulullah, yang di transmisikan ke
pada generasi-generasi berikutnya hingga ke tangan para mukharrij al-
hadith, baik secara lafdzi (lafaz) maupun ma’nawi (makna).
Istilah kritik matan hadits, di pahami sebagai upaya
pengujian atas keabsahan matan hadits, yang di lakukan untuk memisahkan antara
matan-matan hadits yang sahih dan yang tidak sahih. Dengan demikian, kritik
matan tersebut, bukan di maksud untuk mengoreksi kelemahan sabda Rasulullah,
akan tetapi di arahkan kepada redaksi dan makna guna menetapkan keabsahan suatu
hadits. Karena itu kritik matan merupakan upaya positif dalam rangka menjaga
kemurnian matan hadits, di samping juga untuk mengantarkan kepada pemahaman
yang lebih tepat terhadap hadits Rasulullah.[2]
Keshahihan
suatu Hadis tidak dapat ditentukan hanya oleh keshahihan sanad-nya saja, tetapi
matannya pun mesti diteliti, guna memastikan apakah ia tidak syadz atau
pun illah. Dengan
demikian kritik matan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari studi
tekstual dan kontekstual atas Hadis.
B.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Kritik Matan
Kata naqd dalam
bahasa arab lazim diterjemahkan dengan “kritik” yang berasal dari bahasa latin.
Kritik itu sendiri berarti menghakimi, membandingkan, menimbang.[3]Naqd
dalam bahasa arab popular berarti penelitian, analisis, pengecekan dan pembedaan.
Salinan arti Naqd dengan pembedaan, kiranya bertemu sesuai dengan judul karya
Imam Muslim Ibn Hajaj (w. 261 H) yang membahas kriti hadis yakni kitab
al-Tamyiz. Selanjutnya dalam pembicaraan orang indonesia, kata “kritik”
penganalisaan, ada uraian pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya. Dari
berbagai macam arti kebahasaan tersebut, kata “kritik” bisa diartikan sebagai
upaya membedakan antara yang benar (asli) dan yang salah (tiruan/palsu).[4]
Kata dasar matn
dalam bahasa arab berarti “punggung Jalan” atau “bagian tanah yang keras dan
menonjol ke atas”. Apabila dirangkai menjadi matn al-hadits, menurut al-Thibiy,
seperti yang di nukil oleh Musfir al-Damini adalah “kata-kata hadis yang dengannya
terbentuk makna-makna.
Definisi ini
sejalan dengan pandangan Ibnu al-Atsir Al-Jazari (w. 606 H) bahwa setiap matan
hadis tersusun atas elemen lafal (teks) dan elemen Makna (konsep). Dengan
demikian komposisi ungkapan matan hadis pada hakikatnya adalah pencerminan
konsep idea yang intinya dirumuskan dalm bentuk teks.
Dari pengertian
kata atau istilah kritik di atas, dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud
dengan kritik matan hadis (naqd al-matn) dalam konteks ini ialah usaha
untuk menyeleksi matan-matan hadis sehingga dapat ditentukan antara
matan-matan hadis yang sahih atau lebih kuat dan yang tidak. Kesahihan yang berhasil diseleksi
dalam kegiatan kritik matan tahap pertama ini baru pada tahap menyatakan
kesahihan matan[5]
2. Metode Kritik Matan Hadits
Dilihat dari
materi atau objek kritiknya, model kritik teks/matan hadis Nabi dapat dibagi
menjadi dua macam; (1) kritik matan pra kodifikasi “semua” hadis,
dalam kitab-kitab hadis. dan (2) kritik matan pasca kodifikasi “semua hadis”
dalam kitab-kitab hadis.[6]
Pengklasifikasian
ini diperlukan karena memiliki implikasi terhadap metode atau teknik
kritik matan hadis. Berikut ini akan diuraikan metode kritik matan-matan hadis
pra kodifikasi dan pasca kodifikasi.
1. Metode kritik matan hadis pra
kodifikasi.
Dari
berbagai teknik dalam kritik matan hadis periode ini secara umum dapat
dikategorikan memakai metode perbandingan (comparative) dan/atau rujuk
silang (cross reference). Di antara teknik-teknik perbandingan
yang tercatat pernah dipraktikkan adalah dengan teknik sebagai berikut:
a. Membandingkan matan hadis
dengan ayat al-Qur’an yang berkaitan.
Teknik ini
kerap kali dilakukan oleh sejumlah sahabat Nabi. Umar bin Khattab misalnya,
ia pernah mempertanyakan dan kemudian menolak hadis yang
diriwayatkan oleh Fatimah bin Qais yang menyatakan bahwa wanita
yang dicerai tidak berhak menerima uang nafkah (dari mantan
suaminya). Menurut Umar (matan) hadis tersebut, bila dibandingkan
tidak sejalan dengan bunyi ayat al-Qur’an. Demikian juga ‘Aisyah, dalam
beberapa kasus ia pernah mengkritik sejumlah (matan) hadis yang disampaikan
(diriwayatkan) oleh sahabat lainnya yang menurut pemahamannya tidak
sejalan dengan kandungan ayat al-Qur’an. Sebagai contoh beliau
mengkritik hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan ibnu ‘Umar
yang menyatakan bahwa orang yang meninggal dunia akan disiksa
karena ratapan tangis keluarganya. Menurut ‘Aisyah hadis tersebut tidak
sejalan dengan al-Qur’an.
b. Membandingkan (matan-matan) hadis dalam dokumen
tertulis dengan hadis-hadis yang disampaikan dari hafalan.
Dalam
teknik ini apabila ada perbedaan antara versi tulisan dengan
versi lisan, para ulama biasanya lebih memilih versi tulisan
daripada versi lisan, karena dianggap lebih kuat (ahfaz). Imam Bukhari (w. 256
H=870 M) misalnya, beliau pernah melakukan teknik ini pada saat menghadapi
matan hadis tentang mengangkat tangan ketika akan ruku dalam
shalat, yang diriwayatkan oleh Sufyan melalui Ibnu Mas’ud. Setelah
membandingkannya, Bukhari memutuskan untuk memilih hadis yang
diriwayatkan oleh Yahya bin Adam yang teleh mengeceknya dari kitab
‘Abdullah bin Idris (dalam versi tulisan), dan pada matan tersebut tidak memuat
redaksi yang mengundang perselisihan.
c. Perbandingan antara pernyataan dari
seorang periwayat yang disampaikan pada waktu yang berlainan.
Teknik
perbandingan ini pernah dipraktikkan oleh ‘Aisyah salah seorang istri nabi.
Aisyah pernah meminta keponakannya, yaitu ‘Urwah bin Zubair untuk
menanyakan sebuah hadis, yaitu tentang ilmu dan dihilangkannya ilmu dari
dunia, kepada ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘As} (w. 65 H=685 M) yang
tengah menunaikan ibadah haji. ‘Abd Allah pun menyampaikan hadis
yang ditanyakan itu. Karena ‘Aisyah merasa tidak puas, tahun berikutnya, ia
meminta Urwah kembali menemui ‘Abd Allah yang naik haji lagi dan menanyakan
hadis yang telah ditanyakannya setahun yang lalu. Ternyata
lafal hadis yang disampaikan oleh ‘Abd Allah sama persis dengan lafal yang
disampaikannya setahun yang lalu.
d. Membandingkan hadis-hadis dari
beberapa murid yang mereka terima dari satu guru.
Teknik ini
misalnya dipraktikkan oleh (Yahya) Ibnu Ma’in (w.233 H=848 M) salah
seorang ulama kritikus hadis terkemuka. Ia pernah membandingkan karya
Hammad bin Salamah (w. 167 H=784 M) seorang kritikus terkenal dari Basrah,
dengan cara menemui dan mencermati tulisan delapan belas orang murid
Hammad. Dari hasil perbandingan tersebut ternyata Ibnu Ma’in menemukan
kesalahan-kesalahan baik yang dilakukan oleh Hammad maupun murid-muridnya.
e. Melakukan rujuk silang antara satu
periwayat dengan periwayat lainnya.
Teknik ini
pernah dilakukan oleh Marwan bin Hakam. Peristiwanya bermula tatkala Marwan
menerima hadis yang disampaikan oleh ‘Abd ar-Rahman bin al-Mugirah bin Hisyam
bin al-Mugirah yang bersumber dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah yang menyatakan
bahwa Rasulullah saw. Ketika waktu fajar (salat Subuh) beliau dalam
keadaan berhadas besar (karena pada malam harinya bersenggama dengan istri
beliau). Kemudian beliau mandi dan tetap berpuasa (pada hari itu). Mendengar
hadis tersebut, Marwan segera menyuruh ‘Abd ar-Rahman menemui Abu
Hurairah, karena Abu Hurairah pernah meriwayatkan hadis yang menyatakan
bahwa apabila sesorang pada waktu Subuh masih dalam keadaan berhadas
besar karena pada malam harinya bersenggama dengan istrinya, maka
Nabi menyuruh orang tersebut membuka puasanya. ‘Abd ar-Rahman menemui Abu
Hurairah di Zulhulaifah, dan menyampaikan kepadanya hadis yang
diriwayatkan melalui Aisyah dan Ummu Salah (tersebut di atas). Pada saat itu
Abu Hurairah menjelaskan bahwa ia menerima hadis tersebut tidak langsung dari
Nabi, melainkan dari al-Fadl bin ‘Abbas, sehingga menurut Abu Hurairah Fadl lah
yang lebih mengetahui hadis tersebut.
Memperhatikan
teknik-teknik yang dilakukan dalam kritik matan hadis pra kodifikasi di atas,
teknik yang pertama yaitu membandingkan matan hadis dengan al-Qur’an masih
mungkin dilakukan untuk kritik matan pasca kodifikasi. Sedangkan teknik-teknik
lainnya tidak mungkin diaplikasikan terhadap kritik matan pasca kodifikasi, jika
teknik perbandingan itu dilakukan dalam pengertian menemui langsung para
periwayat. Namun, secara substansial, teknik-teknik kritik matan butir kedua
sampai kelima dapat diaplikasikan untuk kritik matan pasca kodifikasi dengan
cara membandingkan matan-matan hadis melalui penelusuran dan analisis
keseluruhan para periwayat dan sanad-sanadnya.
2. Metode kritik matan hadis pasca
kodifikasi.
Seperti halnya
kritik matan hadis pra kodifikasi, untuk kritik matan pasca kodifikasi pun
metode perbandingan tetap masih dominan dan relevan, hanya saja
teknik-tekniknya perlu disesuaikan sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Secara rinci, dapat diuraikan bahwa
teknik kritik matan pada fase ini, termasuk zaman sekarang, dapat dilakukan
antara lain dengan teknik sebagai berikut:
a.
Membandingkan matan-matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang terkait atau memiliki kedekatan susunan redaksi.
Dalam teknik
ini sesungguhnya tidak lagi sekedar kritik perbandingan teks, tetapi perlu
melibatkan aspek pemahaman atau pemaknaan teks. Membandingkan teks atau
matan-matan hadis dengan ayat-ayat al-Qur’an dari susunan redaksi adalah kurang
proposional, karena redaksi atau lafal-lafal al-Qur’an diriwayatkan secara
mutawatir, sedangkan matan-matan hadis hampir seluruhnya diriwayatkan menurut
maknanya saja (riwayah bi al-ma’na). Namun demikian, perbandingan teks ini bukanlah hal yang
mustahil dilakuan, dan analisis perbandingan matan-matan hadis dengan al-Qur’an
tetap membantu proses kritik, misalnya ketika terjadi perbandingan matan-matan
hadis yang semakna dengan redaksi yang berbeda, sementara terdapat ayat
al-Qur’an yang memiliki kemiripan (susunan redaksinya). Dalam
konteks ini jelaslah bahwa keakuratan dalam penujukan ayat yang menjadi
pembandingnya merupakan prasyarat untuk dapat melakukan kritik matan hadis
melalui ayat al-Qur’an.
b. Membandingkan antara matan-matan hadis.
Agar dapat
melakukan kritik matan hadis dengan teknik ini, hendaknya didahului dengan
langkah pertama yaitu menghimpun matan-matan hadis. Untuk itulah penelusuran
hadis-hadis (secara lengkap sanad dan matannya) kepada sumber-sumber aslinya
yang dikenal dengan istilah takhrij al-hadis, dalam tahap ini sangatlah
diperlukan. Matan-matan hadis hendaknya yang memiliki kesamaan makna, dan
lebih bagus lagi yang susunan redaksi atau lafalnya satu sama lain memiliki
kemiripan. Ini penting karena dimungkinkan bahwa hadis-hadis itu pada mulanya
bersumber dari orang yang sama, kemudian mengalamai perbedaan redaksi karena
diriwayatkan oleh para periwayat berikutnya secara makna. Namun, jika hadisnya
hanya satu (teks atau naskah tunggal), tetap bisa diajukan untuk
dilakukan kritik matan/teks. Dari segi kualitas, idealnya matan-matan
hadis yang hendak diteliti, sanadnya pun telah diteliti dan dinyatakan
sahih. Dengan demikian kegiatan kritik matan merupakan kegiatan lanjutan dari
kegiatan kritik sanad. Di samping itu, dalam keadaan tertentu terkadang diperlukan
skema sanad dari semua hadis yang dihimpun (melakukan i’tibar as-sanad) untuk
mengetahui kemungkinan ada tidaknya persambugan dan pertemuan para periwayat
dalam sanad-sanad tersebut dan keterkaitannya dengan perbandingan susunan
redaksi matan di antara matan-matan yang akan dikritisi.
Cara
menghimpun matan-matan hadis untuk kepentingan kritik matan ini, ialah
dengan melihat kitab-kitab kumpulan hadis yang menggunakan sistematika perbab
atau pertema, seperti kitab-kitab hadis yang tergolong kategori sunan. Selain
itu, dapat pula mengambilnya dari kitab-kitab kumpulan hadis tematik seperti
kitab Riyad as-Salihin karya Imam Nawawi, dan kitab Bulug al-Maram karya Ibnu
Hajar al-Asqalani. Hanya saja pada kitab-kitab tematik, hadis-hadisnya tidak
disertai sanad sehingga ketika diperlukan analisis sanad untuk menelusuri dan
membandingkan matan-matannya harus merujuk kepada kitab-kitab
aslinya. Cara lainnya, dapat ditempuh dengan melakukan penelusuran
berdasarkan lafal yang sama atau lafal-lafal yang berbeda namun memiliki
kesamaan atau kemiripan makna. Untuk ini dapat menggunakan bantuan al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfaz al-Hadis an-Nabawi. Dapat pula menelusuri hadis-hadis
tematik dengan bantuan Miftah Kunuz as-Sunnah.
Setelah
matan-matan hadis terkumpul, langkah berikutnya adalah menganalisis atau
mengkritiknya secara cermat dengan cara membandingkan matan-matan hadis satu
sama lain. Perbandingan matan-matan hadis terutama menyangkut persamaan dan
perbedaan antar matan dalam pemakaian lafal-lafalnya dan susunan redaksinya.
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam perbandingan antar matan itu adalah
kemungkinan adanya perbedaan dalam hal tambahan redaksi atau lafal, yakni
adanya idraj atau ziyadah. Hal tersebut bisa saja terjadi
karena adanya tambahan atau kekurangan lafal atau redaksi baik karena
adanya unsur kesengajaan (dengan tujuan yang semula positif), ataupun tidak,
atau karena kekeliruan dan kelalaian periwayat yang sifatnya manusiawi.
Secara
teknis, metode kritik matan hadis dengan membandingkan antara matan
tertentu dengan matan-matan lainnya dapat dilakukan dengan beberapa cara,
misalnya dengan melakukan perbandingan matan-matan hadis yang redaksinya ada
perbedaan. Matan-matan hadis tersebut bisa saja masih dalam satu kitab yang
disusun oleh satu penyusun/penghimpun (mukharij), ataupun pada kitab-kitab
hadis yang berbeda, namun semuanya bersumber atau bertemu pada satu periwayat
yang sama.
Dari
perbandingan itu biasanya ada saja perbedaan redaksi, namun perbedaan itu dapat
ditoleransi sepanjang kandungannya sama. Namun, perbedaan redaksi menjadi
penting dikritisi ketika ternyata di antara matan-matan hadis ada yang memuat
kata atau kalimat tertentu sebagai tambahan ataupun kekurangan, sementara kata
atau kalimat tersebut memuat informasi yang penting karena dapat
menyamakan atau membedakan dengan matan-matan hadis lainnya. Bahkan
persoalan sama tidaknya redaksi, bukan sekedar makna yang dikandungnya menjadi
sesuatu yang signifikan misalnya matan atau redaksi hadis yang dipakai sebagai
bacaan ibadah, seperti bacaan-bacaan dalam salat, haji dan sebagainya.
Untuk
keperluan kajian metode tematik hadis pun, kritik matan ini sangat membantu.
Dalam konteks ini, pengkaji matan-matan secara tematik, tidak akan tergesa-gesa
menoleransi perbedaan dan menganggapnya bahwa perbedaan tersebut saling
melengkapi atau menguatkan (ikhtilaf at-takamul aw at-tanasuk), namun akan
terlebih dahulu menyeleksinya.
Teknik
lainnya yang dapat dilakukan ialah dengan cara membandingkan matan-matan hadis
yang termuat dalam kitab-kitab hadis berdasarkan adanya perbedaan
penulisan atau cetakan. Tentu saja hal ini dapat dilakukan, karena diawali
dari membandingkan matan-matan hadis yang ternyata ada perbedaan.
3. Langkah-Langkah Meneliti Kualitas Matan
Hadits
Adapun
langkah-langkah dalam meneliti kualitas matan hadits melalui beberapa
pendekatan sebagai berikut :
a. Penelitian
matan hadis dengan pendekatan hadis sahih
Selain membandingkan hadis yang mempunyai sanad yang
sama dalam melakukan kritik matan, juga membandingkan hadis-hadis yang satu
tema namun berbeda sanadnya.
Menurut muhadditsin,
sekiranya kandungan suatu matan hadis bertentangan
dengan matan hadits
lainnya, maka perlu diadakan pengecekan secara cermat, sebab Nabi Muhammad Saw
tidak mungkin melakukan
suatu perbuatan yang bertentangan dengan perbuatan yang lainnya, atau
mengucapkan suatu kata yang bertentangan dengan perkataan yang lain, demikian pula dengan
Alquran. Pada dasarnya, kandungan matan hadis tidak ada yang bertentangan, baik
dengan hadis maupun dengan Alquran.
b. Penelitian
matan hadis dengan pendekatan al Quran
Penelitian dengan pendekatan ini adalah dilatar belakangi
oleh pemahaman bahwa Al quran adalah sebagai sumber pertama dan utama dalam
islam untuk melaksanakan berbagai ajaran, baik yang usul maupun yang furu’,
maka Al quran haruslah berfungsi sebagai penentu hadis yang dapat diterima dan
bukan sebaliknya. Hadis yang tidak sejalan dengan Al Quran haruslah
ditinggalkan sekalipun sanadnya sahih. Hadis yang dapat dibandingkan dengan
Alquran hanyalah hadis yang sudah dipastikan kesahihannya, baik dari segi sanad
maupun dari matan.
c. Penelitian
matan hadis dengan pendekatan bahasa
Penelitian bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis
tertuju pada beberapa objek: pertama, struktur bahasa; artinya apakah susunan
kata dalam matan hadis yang menjadi objek penelitian sesuai dengan kaidah
bahasa arab atau tidak. Kedua, kata-kata yang
terdapat dalam matan hadis, apakah menggunakan kata-kata yang lumrah
dipergunakan bangsa arab pada masa Nabi Muhammad Saw. Atau menggunakan
kata-kata baru, yang muncul dan dipergunakan dalam literatur arab modern?
Ketiga, matan hadis tersebut menggambarkan bahasa kenabian. Keempat, menelusuri
makna kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, dan apakah makna kata tersebut
ketika diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw. Sama makna yang dipahami oleh pembaca
atau peneliti.
Dengan penelusuran bahasa, muhadditsin dapat
membersihkan hadis Saw. Dari pemalsuan hadis, yang muncul karena komplik
politik dan perbedaan pendapat dalam bidang fiqih dan kalam. Melalui penelitian
bahasa, pembaca dapat mengetahui makna dan tujuan hadis Nabi Muhammad Saw.
d.
Penelitian matan hadis dengan pendekatan
sejarah
Salah satu langkah yang ditempuh muhadditsin untuk
melakukan penlitian matan hadis adalah mngetahui peristiwa yang
melatarbelakangi munculnya suatu hadis (asbab wurud al hadits ). Sebenarnya,
asbab wurud al hadis tidak ada pengaruhnya secara langsung dengan kualitas
suatu hadis. Namun, yang tepat adalah mngetahui asbab wurud mempermudah
memahami kandungan hadis. Mengikatkan diri dengan asbab wurud al hadits dalam
melakukan kritik hadis akan memprsempit wilayah kajian, karena sangat sedikit
hadis yang diketahui memiliki asbab wurud.
C.
KESIMPULAN
Istilah kritik matan hadits, di pahami sebagai upaya pengujian atas
keabsahan matan hadits, yang di lakukan untuk memisahkan antara matan-matan
hadits yang sahih dan yang tidak sahih. Dengan demikian, kritik matan tersebut,
bukan di maksud untuk mengoreksi kelemahan sabda Rasulullah, akan tetapi di
arahkan kepada redaksi dan makna guna menetapkan keabsahan suatu hadits. Karena
itu kritik matan merupakan upaya positif dalam rangka menjaga kemurnian matan
hadits, di samping juga untuk mengantarkan kepada pemahaman yang lebih tepat
terhadap hadits Rasulullah. baik secara lafdzi (lafaz) maupun ma’nawi (makna).
Dari uraian
di atas, perlu ditegaskan kembali bahwa kritik matan hadis merupakan bagian
yang sangat penting dan integral dalam proses studi (matan) hadis. Secara
praktis, kritik ini memang telah ada sejak para sahabat Nabi, dan dilanjutkan
oleh para kritikus hadis terutama pra kodifikasi hadis.
untuk meniliti suatu
matan hadits dapat menggunakan beberapa pendekatan, sebagai berikut :
1. Penelitian matan hadits dengan pendekatan hadis shahih
2. Penelitian matah hadits dengan pendekatan Alqur’an
3. Penelitian matan hadits edengan pendekatan bahasa
4. Penelitian matan hadits dengan pendekatan sejarah
1. Penelitian matan hadits dengan pendekatan hadis shahih
2. Penelitian matah hadits dengan pendekatan Alqur’an
3. Penelitian matan hadits edengan pendekatan bahasa
4. Penelitian matan hadits dengan pendekatan sejarah
[1] Muh.
Zuhri, Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis, Jogyakarta:
LESFI, hlm. 41
[5] M. Syuhudi Ismail,. Kaedah
Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah. (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 47
[6] Muhammad Musthafa Azami,. Metodologi
Kritik Hadis. Terj. A. Yamin. (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), h. 82
Tidak ada komentar:
Posting Komentar